About my Blog

But I must explain to you how all this mistaken idea of denouncing pleasure and praising pain was born and I will give you a complete account of the system, and expound the actual teachings of the great explorer of the truth, the master-builder of human happiness. No one rejects, dislikes, or avoids pleasure itself, because it is pleasure, but because those who do not know how to pursue pleasure rationally encounter consequences that are extremely painful. Nor again is there anyone who loves or pursues or desires to obtain pain

Kamis, 12 Desember 2013

"lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan"

Kalau kita baca judul diatas, tanpa tahu siapa yang menyatakannya, akan tergambar idealisme yang sangat kuat dalam kata tersebut. Kata tersebut adalah kata yang bagi saya begitu normatif. memilih bertahan pada pendapatnya apapun itu resikonya. Sekalipun dalam konteks ini, diasingkan, dihujat, kehilangan banyak hal yang bisa ia dapat seandainya tetap mengikuti kemunafikan. Kemunafikan? yang bagaimana? Tak perlu saya menyatakan dasar secara agama lebih dahulu tentang makna kemunafikan. Tak perlu rasanya sampai saya menjelaskan munafik secara etimologis, tetapi kita bisa memahami bahwa munafik, berkata tak seperti apa yang dirasakan, Muka dua atau lebih, cocok sekali dalam golongan munafik

Diasingkan? perlu keberanian, keyakinan kuat untuk bisa benar-benar siap diasingkan, dengan segala konsekuensinya. kata yang didengungkan tokoh idealisme Indonesia yang hidup di era 60-an ini menjadi kata yang begitu bisa untuk diiyakan banyak orang. Pasti orang yang membaca atau mendengar kutipan tersebut akan merasa setuju. Setuju, tapi melakukannya tidak mudah. Bagaimana rasanya diasingkan oleh masyarakat. Tidak, oleh lingkungan terdekat sekalipun bahkan. apakah siap menanggung resikonya? Resiko yang kita dapat karena keengganan untuk tunduk pada hal lain yang pada dasarnya di luar nurani kita. Lebih ekstrem lagi, tak hanya tak mau tunduk, tetapi juga lantang melawan yang di luar nurani kita. Tak sedikit Tokoh besar yang tettap membuka rahangnya dan menggetarkan pita suara untuk berkata tidak pada fenomena yang terjadi di sekitarnya, yang sebenarnya, tak sesuai dengan isi hatinya. Melawan, dengan objekitifitas yang tumbuh dari dalam hati dan nuraninya. Nabi Muhammad,  Mandela, Hoegeng, Soekarno muda, Hatta muda, Sjahrir muda, Nikolas Copernicus, dan banyak yang lain yang mungkin saya pun belum tahu. Mereka adalah manusia macam ini. Sebuah kalimat yang menarik untuk disisipkan tentang hal ini, "haters gonna hate". Pasti ada pihak yang tidak menyenangi kita, meski itu hanya di gumamkan dalam hatinya saja. tetapi yang terpenting adalah tetapnya kita berpijak pada apa yang dibisikkan nurani kita. Dan asal tahu saja, mendengar hati nurani kita sendiri terkadang lebih sulit daripada mendengar omongan atau suara orang lain.

Bagi yang belum tahu, Pria yang menyebutkan kalimat diatas adalah Soe Hok-Gie. Pemuda tangguh, yang kokoh dan keras bertahan pada apa yang menurutnya benar. Pemuda yang tak pernah lelah berjuang untuk menciptakan negara, bahkan bila mungkin berkesempatan dunia yang terus berjalan dengan nuraninya. Kita tidak tahu isi hatinya, parameter kebenaran baginya. Tetapi, saya yakin kalau Gie adalah sosok yang murni isi hatinya ingin sesuatu yang berpihak pada orang kebanyakan.