About my Blog

But I must explain to you how all this mistaken idea of denouncing pleasure and praising pain was born and I will give you a complete account of the system, and expound the actual teachings of the great explorer of the truth, the master-builder of human happiness. No one rejects, dislikes, or avoids pleasure itself, because it is pleasure, but because those who do not know how to pursue pleasure rationally encounter consequences that are extremely painful. Nor again is there anyone who loves or pursues or desires to obtain pain

Selasa, 22 Juli 2014

Semoga

Halo.. Saya ini memang terlampau pengecut untuk hal-hal begini. Cuma berani tulis di Blog yang ga ada yang baca, dan semoga tidak terbaca sama dia ya.

Mungkin kamu pikir saya ini sudah jadi orang sombong terlampau sombong. Sekedar tulis pesan "Aku pulang nih" saja tidak mau. Sombong ya? 

Tidak pernah lagi kasih kabar, via telepon, via sms, bbm, line, segala media sosial lainnya. Sebanyak itu yang saya punya tapi ga ada yang saya pakai buat hubungin kamu. Sombong ya?

Kalau pulang bukan 'ngabarin justru pergi sama teman dan ketauan karena update-an teman di sosial media yang kalian punya dan saya tidak. Sombong ya?

Saya sombong banget kali, makan-makan sama teman sampai mana-mana dijabanin, sama kamu makan sekali pun engga. Kasih kabar aja engga. Sombong pasti.

Ya gapapa anggaplah saya ini memang sudah sombong dan terlampau sombong untuk sekedar hubungin kamu. Biar kamu juga enggan ketemu saya. Biar kamu ga denger lagi janji-janji yang belum tentu bisa saya tepati. Biar kamu ga lebih sakit hati lagi nantinya kalo janji yang terlanjur terucap itu ga bisa saya tepati.

Anggaplah saya sombong biar kamu jadi lebih baik. Saya cuma pengen kamu baik-baik saja

Semoga kalau waktunya tiba dan memang sudah dituliskanNya, benci itu hilang, anggapan saya yang sombong hilang. 

Kalau memang waktunya tiba dan memang sudah dituliskanNya semoga bumi pun berkonspirasi biar kita betul-betul ketemu, dan semoga kita baik-baik saja nantinya.

dan terakhir, semoga waktu itu memang bakal tiba, dan memang kita ini sudah dituliskan olehNya untuk bisa hidup yang sebaik-baiknya. Semoga.

Melawan Hari Ini

Sejak duduk di bangku sekolah dasar (SD), saya akrab dengan berbagai macam buku. Dan saya ingat betul, ketika kelas 1 SD buku kegemaran saya adalah buku "100 Pahlawan Indonesia". Waktu itu saya mengidentifikasikan diri saya sebagai orang yang suka sejarah. Kegemaran tentang kisah orang-orang besar terus berlanjut. Kelas 4 SD saya membeli buku berjudul "In Memoriam: Mengenang yang Wafat". Memoar karya Rosihan Anwar berisi kenangan perkenalannya dengan 77 tokoh-tokoh besar Indonesia. Banyak isinya adalah kisah-kisah berupa Human Interest, membuat saya masih suka membolak-balik buku itu hingga sekarang. Kelas 6 SD pertama kalinya saya kenal Soe Hok Gie. Tokoh idealis kesukaan saya yang saya tahu lewat film yang tidak ibu saya izinkan untuk menontonnya. Saya mengenal Gie ketika itu sebagai orang yang luar biasa hebat. Tidak pamrih, dan teguh pendirian. Gie pun menghapuskan Soekarno sebagai tokoh idola saya ketika itu.

Masa SD-SMP inilah saya menjejali kepala saya dengan buku-buku yang belum usia saya membacanya. Ibu saya sampai menyuruh saya beli komik agar tidak stress. Ayah saya mulai mensensor buku yang saya beli. Minat saya untuk memahami perlawanan sosialis dan komunis meledak-ledak masa-masa itu. Saya mengenal perlawanan sebagai kunci dari penindasan. Saya menganggap perlawanan sebagai senjata pamungkas dari ketidakadilan di dunia ini. Itu deskripsi saya tentang perlawanan hingga saya kuliah.

Di bangku SMA saya ejawantahkan pemahaman saya tentang perlawanan dengan bergabung dalam organisasi sekolah yang memang senafas dengan pikiran saya. Majelis Perwakilan Kelas. Saya justru tidak merasa sebagai panglima perlawanan yang memanggul cita-cita teman-teman SMA saya, seperti yang saya impikan. Saya terlalu sibuk dengan program kerja dan mengurusi penyakit internal organisasi SMA itu. Saya merasa kurang cukup melawan dengan organisasi itu. Tapi mental melawan saya kental bukan main, guru yang menurut saya meleng, dan tidak pantas saya kritik setengah mati kalau perlu saya bicara dengannya di ruang guru, di ruang kerjanya. Saya anti diatur-atur seenaknya. Saya mengaggap perlawanan adalah revolusi ketika itu.

Ketika kuliah di Bandung, saya mulai bertemu dengan seorang teman. Dia semacam perindu kehadiran komunis di mata saya. Saya senang bicara dengannya ketika dia tahu banyak soal sejarah, dan sedikit-sedikit sepaham dengan konteks perjuangan ala komunis dan sosialis. Saya diajak long march waktu itu. Isinya menolak korupsi. Sampai bolos kelas. Saya ikut, berteriak-teriak, dari depan kampus saya di Jalan Ciumbuleuit sampai Dago. Umpatan-umpatan untuk koruptor mengalir hari itu. Tapi saya tidak lega, tidak merasakan jawaban. Saya sadar, bukan itu cara melawan.

Saya jadi skeptis dengan perlawanan sejak saat itu. Hidup saya diisi kuliah, belajar, dan senang-senang. Lupa baca buku sejarah. Lupa kegemaran saya, lupa melawan. Hidup saya terlalu indah saat itu, lupa dengan perlawanan dan perjuangan orang-orang yang mengais nasi di sekeliling.

Tahun berikutnya saya pindah kuliah ke Jogja. Di tempat baru saya ini justru yang tidak melawan dianggap pengkhianat. Suasana perjuangan yang saya rindukan di masa sekolah sebenarnya saya temukan di tempat ini. Tapi saya terlanjur skeptis dan tidak mau tahu. Di masa pengenalan kampus pun kami diajari untuk "aksi". Teriak-teriak, nyanyi-nyayi, dengar orasi, lalu mengepalkan tangan dengan gegap gempita semangat ala pejuang '45. Saya merasa bodoh ketika melawan seperti itu. Cuma buat lelah saja. Buat dosa saja. Belum tentu umpatan-umpatan saya di dengar yang saya umpat dan memberi pengaruh baik. Saya ada di tahap, membenci demonstrasi, membenci aksi turun ke Jalan.

Nafsu melawan itu masih ada, maka saya bergabung dengan kegiatan pers kampus yang saya rasa senafas dengan saya. Mereka punya semboyan-semboyan yang menjadi landasan saya ikut, hanya karena senada. Tapi, hobi saya menulis rasanya entah mengapa kurang mengalir di dalam kegiatan ini. Malah saya sudah merasa kurang sepaham lagi, dan cukup prinsipil, ada baiknya saya undur diri dan cari cara lain buat meredam nafsu saya yang satu ini.

Masa kuliah di Jogja ini saya isi dengan banyak baca buku yang sifatnya membangun diri, buku psikologi, buku agama. Saya mulai kehilangan kemauan melawan. Karena saya merasa masa-masa ini bukan lagi masanya melawan. Apa yang perlu dilawan? Kesewenang-wenangan? Ketidakadilan? Hal-hal yang sejak dulu ingin sekali saya lawan. Tapi, tampaknya menemukan cara melawan yang sejati yang ideal belum saya temukan. Mau berkoar-koar sampai depan kamar presiden di istana negara saya tidak melihat kemungkinan teriakan saya akan merubah penyakit Indonesia yang terlalu kronis ini.

Cara itu, untuk diri saya tidak cocok, sudah lapuk, itu cocok tahun 1960'an. Tahun 1998 dulu aksi-aksi itu berhasil. Entah apa sebabnya tapi memang kondisi saat itu membutuhkan aksi besar seperti tahun-tahun itu. Aktivis pada masa tu berhasil dengan perjuangan dengan cara yang masih di adaptasi hari ini.

Seiring bertambahnya usia saya berharap semakin dewasa, dan nafsu melawan saya yang bukan main membludaknya dulu rupanya bisa saya atasi sedikit-sedikit. Saya mulai menemukan perlawanan yang cocok bagi diri saya yang saya rasa cocok dengan kondisi saat ini.

Kondisi dengan banyak masalah saat ini, akan semakin bermasalah ketika perlawanan yang kita lakukan tidak tepat. Perlawanan dengan cara aksi turun ke jalan bukan berarti buruk. Tapi, menurut saya aksi itu banyak mudharatnya, menganggu orang di sekitar, sedikit banyak mengganggu ketertiban, mengganggu keamanan, banyak mengganggunya di banding dicapainya cita-cita yang ada. Kadang resolusi ditawarkan dalam aksi turun kejalan, namun ya aksi tadi tetap banyak mudharatnya dan belum tentu resolusi ini diterima sasaran aksi. Aksi yang membakar semangat tadi juga kadang ada orang yang ikut terbakar emosinya hingga bakar-bakar ban dan parahnya kalau sudah bakar fasilitas umum. Banyak mudharatnya.

Melawan menurut saya? Seperti tujuan yang pernah saya dengar dari kegiatan perkumpulan mahasiswa muslim di kampus saya, menebarkan oase-oase kebaikan di tengah gersangnya kampus kami. Kurang lebih seperti itu. Ya menurut saya itu, perlawanan jangka panjang untuk perbaikan negeri ini apalagi kalau bukan menjadikan diri kita lebih baik untuk memperbaiki negeri ini. Perbaikan untuk penyakit disekitar kita apalagi kalau bukan turun langsung dengan tangan kita mengobati penyakit di sekitar kita dengan kegiatan sosial. Banyak sekarang gerakan yang memfasilitasi gagasan-gagasan kreatif untuk menggelar kegiatan sosial. Baik pendidikan, kesehatan, atau bantuan kehidupan sehari-hari orang yang membutuhkan. Perlawanan macam inilah perlawanan yang sekali lagi, menurut pandangan saya paling kompatibel dengan kondisi negara kita saat ini. Bukan lagi aksi protes turun ke jalan.

Meragukan Suara Rakyat

Tulisan ini bukanlah sebuah tulisan keilmuan yang dirangkai dengan data dan analisa dalam menemukan sebuah konklusi. Tulisan ini lebih merupakan rangkaian pertanyaan dengan kegelisahan di dalamnya yang belum saya temukan jawabannya.

Belum lama saya membaca sebuah petisi yang menuntut di revisinya UUMD3. Saya belum membacanya lebih dalam, UUMD3 itu sendiri serta poin apa saja yang sebenarnya hendak di revisi dalam UU tersebut. UU MD3 sendiri sebatas pengetahuan saya adalah Undang-undang yang mengatur mengenai MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Saya disini bukan mau menguji serta mengkaji ada apa di dalam undang-undang tersebut. Ada poin penting apa di dalamnya. Saya mencoba mengkaji kegelisahan lain yang terkandung dari tuntutan merevisi Undang-undang tersebut.

Saya adalah mahasiswa Tahun pertama yang sedang menunggu masuknya tahun kedua kuliah saya di Fakultas Hukum. Bersinggungan dengan hal-hal yang saya sedikit paparkan di atas merupakan hal yang biasa bagi saya. Namun, saya kurang memiliki minat dalam mengkaji hal-hal seperti yang telah dipaparkan diatas. Saya ingin mempertanyakan dari kacamata kehidupan sosial masyarakat Indonesia.

UUMD3, serta UU-UU lain di Indonesia dibuat oleh Legislatif bersama dengan Presiden. Mencoba menelaah hakikatnya secara otodidak, cara perumusan undang-undang macam itu merupakan langkah yang saya rasa matang. Pada dasarnya, dalam merangkai atau membentuk Undang-undang tersebut Legislatif yang punya makna pembuat aturan tidak membuatnya dari satu sisi saja tapi mendiskusikannya pula dengan presiden sebagai pemilik kekuasaan eksekutif atau pelaksana dari aturan yang telah dibuat di Indonesia. Secara hakiki pembentukan undang-undang ini menurut saya menjalankan proses check and balances yang tepat dimana lembaga kekuasaan masing-masing memiliki andil untuk menghasilkan hingga pelaksanaannya yang berarti termasuk pada pengawasannya. Ya, artinya undang-undang ini memang merupakan aturan yang telah ditimbang-timbang kehadirannya secara matang dari ratusan kacamata orang yang berkecimpung di dalamnya untuk menyusun, menjalankan hingga menegakkannya.

Sebagai mahasiswa Fakultas Hukum, Undang-undang sudah menjadi semacam kitab acuan kedua setelah Al-Qur'an. Sehari-hari dalam mata kuliah yang telah saya ambil pada dasarnya menerangkan aturan-aturan yang ada dalam bagian hukum tersebut. Misalnya Hukum Pidana, kitabnya Kitab Undang-undang Hukum Pidana; Hukum Perdata, Kitab Undang-undang Hukum Perdata; Hukum Tata Negara, UUDNRI tahun 1945, dan mata kuliah lain dengan pola yang sama. Semua yang kami pelajari bersumber dari rangkain aturan yang kami tekuni betul makna di dalamnya. 

Semakin hari saya mempelajari Ilmu Hukum saya mulai membuka lembaran-lebaran peraturan perundang-undangan yang di gunakan di Indonesia. Dan selama saya mencoba menelaah aturan-aturan tersebut yang kami jadikan betul acuan kami temukan pula kekurangan-kekurangan dalam aturan tersebut yang menyebabkannya menjadi mengambang untuk suatu hal dalam aturan tersebut, dan saya sebagai mahasiswa yang masih tergolong baru mempelajari Ilmu Hukum pun bertanya-tanya, bagaimana pelaksanaan akan suatu hal yang dituntun dalam suatu aturan tertentu namun ada hal yang tidak diatur di dalamnya? Bagaimana kelanjutannya?

Sebagai contoh, belum lama ini saya mempelajar Undang-undang Republik Indonesia Nomor 21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Karena saya mencoba mengkaji apa yang ada di dalamnya saya mencari pula permasalahan yang dihadapi para pelaksana atau para pelaku kegiatan yang berkaitan dengan yang diatur dalam UU OJK ini. Dalam salah satu permasalahan yang dihadapi dengan hadirnya OJK dalam kegiatan perekonomian di Indonesia, terdapat masalah yang disebabkan tak diaturnya suatu hal dalam UU OJK ini. Yaitu, ketiadaan aturan atau cetak biru arah perkembangan perbankan syariah di dalamnya. Yang artinya pelaksanaan kewenangan OJK mengenai arah pengembangan Bank Syariah ini tidak rinci dijelaskan. Padahal, Bank Syariah termasuk dalam penjelasan apa itu perbankan yang diatur dalam Undang-undang tersebut yang artinya Bank Syariah pengawasannya menjadi kompetensi dari OJK sendiri. Pertanyaan tentang hal itu, lalu bagaimana OJK sebagai pemegan kompetensi pengawasan Bank Syariah mengambil kebijakannya untuk melaksanakan kompetensinya tersebut? Tidakkah kekosongan ini membuat OJK jadi tidak ada tuntunan, seperti misal, kita diperintahkan berpuasa tapi tidak dijelaskan mulai dan sampai kapannya?

Ya terlepas dari itu semua, memang dalam Ilmu Hukum dikenal penafsiran hukum yang setahu saya memang berguna untuk mengantisipasi kekosongan-kekosongan macam tadi. Ada pula mekanisme untuk menguji materil suati perundang-undangan. Namun, yang membuat saya bertanya-tanya ialah, wajarkah tuntunan bagi pelaksanaan suatu hal memiliki kekosongan didalamnya? Apakah memang kekosongan itu merupakan suatu hal yang lazim ada dan akan ada dalam suatu aturan?

Sebagai orang awam hukum yang tiba-tiba kuliah di Fakultas Hukum, saya tiba-tiba pula menyadari bahwa Undang-undang dan peraturan lain dalam hierarkinya merupakan rujukan segala pertanyaan, acuan dari segala keraguan dalam setiap pelaksanaan. Boleh jadi saya sedikit mengagungkan kehadiran suatu peraturan sebagai tuntunan. Namun, menyadari ketika aturan ini ternyata ada "lubangnya"ada "cacatnya" ada kekecewaan yang terbersit dalam diri saya. Bagaimana mungkin tuntunan, aturan tapi berlubang-lubang? Tidakkah ini seperti perintah Sholat tapi tidak diberitahu bagaimana bacaan sholat, bagaimana sujud itu?

Kalau kita sedikit-sedikit mengurai pertanyaan saya tadi, Undang-undang dibuat oleh pemegang kekuasaan legislatif bersama-sama dengan presiden, pemegang kekuasaan eksekutif. Legislatif, pembuat hukum, atau pembuat peraturan begitu ideal, ketika didalamnya merupakan perwakilan rakyat. Seolah-olah rakyat memang punya andil dalam menyusun suatu aturan untuk dipatuhi. Ideal sekali. Senafaslah hal ini dengan sistem pemerintahan demokrasi menurut Abraham Lincoln, Dari Rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Namun, masihkah itu ideal ketika aturan tersebut mengandung lubang-lubang didalamnya? Apakah rakyat di Indonesia saja yang belum siap dengan konsepsi agung tersebut? Atau pemegang suara rakyat di Indonesialah yang tidak sanggup dan belum pantas menggelar kehidupan yang indah dengan sendi demokrasi?




Senin, 21 Juli 2014

Balada si corong angkuh

corong yang satu ini bukan corong-corong lain. Corong yang satu ini mulanya tampak kokoh. Di dorong sekuat tenaga pun kelihatannya percuma, ia tak akan bergeming barang sesenti pun. Corong yang satu ini kukira lantang bukan kepalang. Teriak tak pandang bulu, yang meleng sedikit kena tempeleng. Corong ini kukira jadi jawaban yang hakiki dari gelisahnya umat manusia di bumi. Si corong yang kokoh, lantang, dan berani tiada terkira. Mau digonggongi ratusan bahkan ribuan anjing, si corong ini ya bakal seperti ia adanya. Lantang menerjang, apapun dihadang. Corong ini kuanggap seperti nabi yang luar biasa tegar, lurus pada jalan yang diyakininya. Namun, ya hanya kuanggap, hanya kukira.

Belum juga bumi sampai lagi habis mengelilingi matahari, mulai tampak aslinya corong kokoh ini. Si corong yang kuanggap jawabann dari semua pertanyaan ini sedikit-sedikit mulai nampak belangnya. Si Corong lantang bukan kepalang ini bukannya surut lantangnya, ia tetap lantang. Tapi kutatap lagi, lantangnya ganjil. Lantangnya bukan lantang yang lurus selurus tuntunannya. Lantangnya ini lurus sesuai arahannya sendiri. Ia tetap lantang, tetap lurus, tapi ia sendiri yang buat garis lurusnya, ia sendiri yang atur garis lurusnya, tak peduli apakah lurusnya ini elok dipandang, apakah lurusnya ini melindas apapun yang bisa dilindas, apakah lurusnya ini memang lurus yang seharusnya lurus, Si corong tak peduli.

Ia bukan surut beraninya, tetap ia berani, tetap ia menyalak ketika di gonggongi ratusan anjing tapi kutatap lagi si corong, ada yang ganjil. Ia berani menyalaki anjing manapun, bahkan anjing santun yang diam saja dan tidak menggonggong ikut ia menyalakinya. Corong kebanggaanku ini kelewat berani, tiap ia melenggang bukan anjing pun dipelototinya, digonggonginya, diintimidasi sedemikian rupa, bukan anjing, apapun itu yang padahal hanya diam saja, hanya senyum, santun pula tingkah polahnya tapi empuk untuk digonggongi. Corong ini habisi dia, karena corong kebanggaanku ini tak pudar beraninya.

Si corong ini bukan berkurang kokohnya. Kulihat tempo hari raksasa hijau berbadan besar mendorongnya sampai bersimbah peluh, si Corong ini diam saja, masih kokoh juga, tegar luar biasa. Entah corong kokoh yang kubanggakan ini terbuat dari apa bisa demikian kokohnya. Luar biasa. Tapi corong ini kutatap lagi, dan lagi-lagi, ada keganjilan yang menyilaukan mata. Si corong ini terlampau kokoh tak mau dengar auman singa, gonggongan anjing, embikan kambing, apapun yang berbunyi corong hanya diam tak bergeming. Bahkan ditiup topanpun ia hanya diam tak bergeser bahkan satu mili. Corong ini mulai terlampau kokoh, tak mau dengar ketika garis lurusnya bunuh burung-burung yang hanya besiul di sore hari. Tak peduli ketika terlampau berani ia tempeleng siapapun, tak hanya mereka yang meleng, yang mencoba berjalan lurus pun bagaimanapun caranya ia tempeleng. Ya, corong kebanggaan ku ini terlampau kokoh, tak peduli, tak bergeming.

Corong yang kulihat dan kukira lantang, berani, kokoh ini memang seperti apa yang kulihat dan kukira. Tapi corong yang kukira menjawab segala pertanyaan ini mulai belang dan hanya teguh pada jawabannya sendiri tak peduli ada halilintar yang tak setuju, topan yang mengamuk karena beda ucap. Corong ini terlalu angkuh.

Media, Pelacur Intelektual hari ini


Istilah pelacuran intelektual pertama kali saya baca dalam buku Soe Hok Gie karya Rudi Badil dan kawan-kawan yang diterbitkan beberapa tahun silam. Salah satu bagian dari buku tersebut melukiskan kegeraman Gie pada rekan-rekannya, yang sebelumnya berjuang bersamanya menggulingkan pemerintahan Soekarno yang mereka nilai sudah tidak lagi 'klop' dengan bangsa Indonesia hari itu. Ketika kemudian Soeharto menjadi suksesornya, rekan-rekan Gie sesama aktivis lalu berduyun-duyun masuk ke jajaran parlemen, bahkan dengan semangat untuk mendapatkan kredit mobil merek Holden yang terbilang mewah kala itu.

Istilah pelacur intelektual pernah pula saya baca pada sebuah artikel di situs romelteamedia.com mengenai netralitas lembaga survei di masa kini. Pelacur intelektual ini ditujukan kepada para peneliti di bidang survei yang “melacurkan” keilmuannya untuk menghasilkan hasil survei yang sudah dirancang sedemikian rupa memihak.

Hari ini, di tengah gonjang-ganjing tentang Pemilu Presiden (pilpres) yang demikian ramai, kita disuguhi pertarungan seru dari dua kubu. Pertarungan ini rasanya membuat kita selalu ingin menjadi penonton di bangku terdepan dalam arena adu hebat dari dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden. Namun, mari kita lihat perilaku media. Media pada hakikatnya merupakan corong informasi yang diharapkan memberikan informasi yang selurus-lurusnya, tetapi dalam situasi panas jelang pilpres sekarang, "kelurusannya" itu patut dipertanyakan!

Wajar bila konsumen media saat ini beranggapan bahwa informasi dari beberapa media sudah tidak “lurus” lagi, mengacu pada keberpihakan pemilik beberapa media pada salah satu kutub dari dua petarung pilpres tahun ini. Masyarakat “melek politik” hari ini juga pasti menyadari keberpihakan pemilik beberapa media pada kubu-kubu yang bertarung dalam laga pilpres hari ini sedikit banyak berimbas pada kualitas informasi yang disampaikan melalui medianya. “Ketidaklurusan” corong-corong informasi saat ini tentu membuat saya geram. Media-media tertentu mengundang buruk sangka saya tentang ketidakeleganan mereka dengan berpihaknya sang pemilik pada kubu tertentu. Sebagai contoh, sang pemilik bergabung dalam kubu capres-cawapres A, maka nampak sekali porsi informasi mengenai gerak-gerik capres-cawapres A lebih banyak disampaikan dibanding capres-cawapres dari kubu lain. Kadang bisa kita saksikan pula media macam ini menginformasikan berita tentang capres-cawapres dari kubu lawannya, namun yang disampaikan adalah informasi yang tampaknya menyingkap "hal-hal kelam" dari petarung kubu lawan.

Hal mengenai kenetralan media pers khusunya, tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Di dalamnya tidak disebutkan perihal keharusan pers dalam menyampaikan informasi haruslah berimbang, tidak berat sebelah atau larangan tertentu keberpihakan suatu media pers atau pemiliknya pada suatu kekuatan atau kubu peserta politik tertentu. Namun, dalam Pasal 7 Undang-undang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers ini disebutkan bahwa, wartawan memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik.

Membaca Kode Etik Jurnalistik ini kita akan menemukan poin menarik pada Pasal 1, dimana disebutkan bahwa Wartawan Indonesia bersikap Independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk. Memperhatikan pula penafisran pada pasal ini, dimana yang dimaksud dengan independen adalah memberitakan peristiwa sesuai fakta dengan suara hati nurani dan tanpa campur tangan, paksaan dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers.

Memperhatikan apa yang dewasa ini terjadi apalagi menjelang pilpres dengan kondisi yang telah saya sebutkan diatas, independensi dari media pers sekali lagi patut dipertanyakan. Karena, pada hakikatnya, media sudah seharusnya memberikan informasi yang lurus dan tidak tendensius. Namun, seperti peneliti pada lembaga survei, yang dijuluki pelacur intelektual seperti yang disebutkan diatas, media sayangnya menyampaikan informasi yang tidak seimbang, sehingga dapat mempengaruhi masyarakat dalam menentukan pilihannya kelak. Hal inilah yang menimbulkan kegeraman dari berbagai sisi karena media seolah mempermainkan hakikatnya dan sudah barang tentu mempermainkan pula konsumennya dengan informasi yang tidak berimbang. Padahal, media-media pelacur intelektual ini adalah media besar yang di dalamnya bergabung jurnalis-jurnalis hebat dengan daya analisis tinggi dan penuh kompetensi; dedengkot-dedengkot dalam bidangnya yang boleh dibilang punya "otak encer". Sayangnya, entah mereka "terlacurkan kemampuannya" karena manuver politik sang pemilik ataukah memang mereka yang tak punya idealisme yang kokoh sehingga bergabung dalam "pelacuran intelektual masa kini".


Meskipun mereka dapat membela diri secara hukum, namun kenyataan bahwa mereka tak berpijak di tengah kedua kubu dan entah dimanfaatkan atau justru memanfaatkan hakikat mereka sebagai wahana komunikasi massa yang menyampaikan informasi yang mereka perolah dengan kewenangannya demi kepentingan tertentu, tentunya telah mengecewakan banyak pihak. Meskipun desing-desing berita yang mereka sampaikan belum tentum memberikan pengaruh pada konstituen di Indonesia untuk menjatuhkan pilihan, namun kenyataan yang telah saya sebutkan diatas telah mencederai kepercayaan masyarakat pada lembaga pers tertentu, dan bisa jadi lembaga pers pada umumnya apabila hal demikian (pers yang berpihak) sudah menjadi lazim.

Dimuat pula di : http://mahkamahnews.org/?p=1327

Benar? Salah?

Benar atau Salah. Dua hal yang saling bertolak belakang yang murid Sekolah Dasar pun tahu ada dua kata itu dan kapan digunakannya. Mungkin anak di Taman kanak-kanak juga sudah tahu adanya dua kata tersebut. Namun, bagaimana memaknai "Benar" dalam kehidupan kita?

Kurang lebih ketika saya duduk di bangku kelas 6 SD, saya pernah mendengar kata-kata aktivis 60'an, Soe Hok-Gie, "Kebenaran Hanya ada di langit dan dunia hanyalah palsu...". Sejak saat itu dalam diri saya terbangun pemahaman skeptis tentang makna "benar", bahwa sejatinya benar itu tidak ada dalam kehidupan sehari-hari, karena benar yang sejatinya benar itu begitu normatif, begitu tinggi untuk digapai. Dan manusia, dengan segala keterbatasannya tidak mampu untuk menggapai kebenaran itu sendiri. Sehingga segala tingkah polah manusia di dunia ini hanya benar bagi mereka yang melakukan dan meyakininya. Benar yang 100% benar itu tidak ada di dunia. Karena benar bagi saya belum tentu benar bagi teman saya. Benar atau tidak yang betul-betul pasti hanya ada pada kunci jawaban ujian yang dipunya guru. Kebenaran dalam kehidupan sehari-hari itu tidak ada. Kurang lebih begitu saya membangun argumen saya tentang "Benar" dengan melandaskannya pada kutipan Gie tersebut.

 Sementara itu dalam Ilmu Hukum Pidana, (saya lupa teori siapa) ada dua bentuk kesalahan, antara lain kesengajaan dan kealpaan. Dimaksud sengaja ketika ada pengetahuan dan ada kehendak, dan dalam kealpaan sendiri ada ketika si pelaku mengetahui tetapi secara tidak sempurna. Kurang lebih seperti itu. Kalau merujuk pada teori tersebut, yang termasuk dalam kualifikasi perbuatan diatas dapat disebut sebagai suatu kesalahan, dan menurut pada pandangan saya, lawan dari kesalahan adalah kebenaran, maka yang tidak termasuk dalam kualifikasi seperti yang dijelaskan diatas adalah kebenaran. Begitulah, kebenaran dalam perbuatan manusia digambarkan dalam sebuah teori.

Dalam buku "kenangan tak terucap: Saya, Ayah, dan Tragedi 1965", buku karya Nani Nurrachman Sutojo, Putri kedua dari Jenderal Sutoyo Siswomiharjo yang menjadi korban dalam peristiwa G-30S tahun 1965, diceritakan bagaimana Jenderal Sutoyo mendefinisikan "benar" itu sendiri pada anak-anaknya yang saat itu masih belia. Percakapannya seperti ini, "Nan, banyak hal lain di dalam kehidupan yang dianggap benar belum tentu diakui kebenarannya oleh masyarakat. Juga apa yang kamu yakini sebagai kebenaran, belum tentu dianggap benar oleh semua orang." Menyimpulkan kutipan percakapan Jenderal Sutoyo pada putrinya mengenai kebenaran tersebut, ada poin yang kurang lebih sama dari pandangan saya tentang "benar" versi Gie. Dimana kebenaran pada suatu hal itu berbeda setiap kacamata yang memandangnya. 

Seperti yang saya contohkan diatas, mungkin saya dan teman saya bisa memaknai secara berbeda mengenai "benar" itu sendiri. Setelah membaca kutipan dari jenderal Sutoyo tersebut saya mulai menyadari bahwa "benar" itu memang begitu subjektif dimana satu sama lain dapat berbeda pandangan tentang makna benar. Namun, yang paling hakiki dari ribuan pertanyaan tenang benar dan salah adalah bagaimana kita menyikapi perbedaan pandangan tentang kebenaran dalam suatu hal. Ketika kita mempertanyakan kebenaran, jawabannya tidak akan ada habisnya karena menjawab apa makna benar saja akan berbeda-beda sesuai siapa yang menjawab. Sehingga, memang tak perlulah diperdebatkan benar atau tidaknya suatu hal dengan orang lain, karena yang terpenting adalah berbuat sesuai dengan yang kita yakini benar, dan secara bijak menyikapi kebenaran-kebenaran yang dimiliki orang-orang dengan kacamata yang berbeda. Itulah yang selama ini hilang, dan sulit sekali ditemukan ditengah keberagaman tingkat tinggi diantara masyarakat Indonesia. Contoh simpelnya, Suasana Politik jelang pemilihan Presiden ini......

Minggu, 16 Maret 2014

Sedikit Cerita

Beberapa hari ini saya dibuat banyak teringat akan ayah saya. Lewat video di internet yang tiba-tiba muncul di facebook, atau lewat cerita-cerita teman, saya jadi teringat tentang ayah saya. Dan belum lama ayah ibu saya datang ke Kota dimana saya belajar. Meskipun untuk urusan tertentu, saya sangat ingin bertemu mereka sekadar melewatkan waktu berkualitas sejenak. Intinya selama satu hari telah berlalu bersama kedua orangtua saya, banyak saya habiskan dengan ayah saya karena ibu saya ada acara, Momen yang menjadi begitu berharga sejak saya tidak tinggal bersama mereka.

Sore hari usai mengantar kedua orangtua pulang, saya kembali kerumah dan hendak segera pergi ke kampus dan tiba-tiba ada masalah dengan motor saya sehingga saya tidak bisa berangkat. Namun karena urgensinya maka saya minta tolong salah seorang teman untuk membantu mencarikan bengkel terdekat. Akhirnya kami menemukan bengkel motor. Dan karena ada masalah pada kunci motor saya maka ia menyarankan ke tukang kunci didepan bengkel tersebut. Saya bertemu seorang pria beperawakan cenderung sedikit gemuk, dengan tubuh yang lebih pendek dari saya. Saya meminta tolong dan ia menyanggupinya untuk mengecek motor yang ada dirumah saya.

Kami kembali kerumah, dan ia mulai mengutak-atik motor saya. Awalnya saya merasa orang ini cukup banyak maunya sehingga saya biasa saja tidak memperhatikannya bekerja, saya lebih banyak memperhatikan motor saya jangan sampai jadi rusak lebih parah karena diutak-atik orang ini. Karena ia butuh barang tertentu maka ia menyarankan agar kami kembali ke tempat ia mangkal sebagai tukang kunci karena barang tersebut bisa ditemukan di toko yang tidak jauh dr tempatnya mangkal. Disana ia menyuruh saya membeli mur di bengkel seberang, saya sempat berpikir, kenapa bukan dia yang beli mungkin akan lebih mudah prosesnya kalau ia kenal dengan si pedagang, dan benar ternyata saya tidak mendapatkan mur seperti yang diminta bapak itu. Ia lalu mencarikan mur serupa di tempatnya mangkal. Dan akhirnya ketemu.

Ia memasangkannya pada motor saya, dan ketika memasangkannya itulah saya jadi lebih memperhatikan ekspresi si bapak ini bekerja. Ketika melihatnya saya jadi merasa begitu terenyuh. Padahal ia tinggal memasangkan sekrup, simpel, tapi ketika ia memasangkannya dan akhirnya bisa ia tersenyum lebar begitu polos yang menunjukkan ia pun ikut senang dengan sekrup ini bisa terpasang. Begitu polos dan sulit di gambarkan. Saya lalu merasa begitu tersentuh dan merasa bersalah karena sedikit kesal dengannya tadi, padahal seingat saya ketika dia membongkar mtotor saya berbodi keras ia harus menariknya sekuat tenaga dengan susah payah dan memperlihatkan bahwa ia betul-betul susah payah. Ketika akhirnya sekrup berhasil terpasang, ia bilang dengan muka polosnya "bisa mas!"

Begitu sepele dan sederhana sebenarnya, tapi saya begitu tersentuh dan sepanjang perjalanan saya ke kampus saya selalu terngat usaha keras bapak tadi, yang juga mengingatkan ayah saya. Ayah saya mungkin hari ini tidak bekerja dengan fisik yang berat seperti si bapak tadi, ayah saya mungkin duduk diruangan bependingin yang begitu nyaman dengan kursi empuknya, tapi untuk sampai kesana ayah saya juga melalui perjuangan yang mungkin sama. Ayah saya mungkin lebih beruntung dari bapak tadi dari segi materi, tapi bapak tadi entah kenapa begitu mengingatkan saya pada ayah saya ketika bekerja, wajahya menunjukkan kesungguhan dan kepolosan yang benar-benar tulus ia mengerjakan perjuangannya, Dimana ia ikut senang ketika saya lega akhirnya motor saya bisa berfungsi kembali. Saya sudah cukup lama menghadapi orang, dan baru kali ini ada orang yang tampak mengerjakan sesuatu seperti bukan untuk manusia kebanyakan hari ini, untuk uang. Ingin menanyakan rumahnya, atau keluarganya saja saya tidak bisa berkata-kata. Saya membayangkan masa kecil orang ini, mungkin bapak ini bisa jadi sesekolah dengan ayah saya dulu karena bengkel ini tak jauh dari sd dan smp ayah saya. Saya membayangkan ia mungkin bukan orang yang berlimpah materi sejak kecil, tapi menjalaninya dengan tak pernah bekerja dengan tidak sungguh-sungguh, dengan hatinya. Semoga Tuhan selalu memberikan yang terbaik untuknya.

Dan ayah saya, Sejak saya SMA sudah jauh dari rumah, setiap minggu ia bolak-balik pergi kerumah dan tempatnya kerja, pulang sampai rumah larut malam dan ketika pulang kekotanya pagi-pagi sebelum subuh ketika saya dan adik saya masih nyenyak bermimpi. Melakukannya seperti ayah saya, saya tak terbayang apa bisa melakukannya. Tak jarang ia sampai rumah larut malam dan keesokannya sebelum subuh berkumandang ia sudah berangkat lagi kekota lain. Tapi tak pernah darinya tergurat wajah lelah yang meminta saya mengganti waktu tidurnya atau waktu berharganya bersama ibu saya yang ia relakan sejak saya SMA sudah berjalan sekitar enam tahun ia tak serumah dengan kami setiap harinya.

Sepanjang perjalanan menuju kampus tadi saya memikirkan itu, dan kini, saya ada di tempat yang berkilo-kilometer jauhnya dari rumah ini hanya mampu berharap hidup kedua orangtua saya bisa terus lebih bahagia, di dunia dan akhirat, semoga Tuhan menjaga mereka sebaik-baikNya menjaga manusia yang baik. Semoga yang saya lakukan disini bisa membuat orangtua saya merasa bangga. Semoga Tuhan menjaga mereka, semoga saya masih diberi waktu yang lebih lama lagi untuk melihat dan mendengar suara mereka, dan doa yang mungkin selalu tersemat di hati orang yang tengah mengejar impiannya, Semoga Orangtua kita diberiwaktu melihat putra-putrinya mencapai apa yang orangtua kita harapkan. Aamin. 

Rabu, 19 Februari 2014

Kritik Sang Presma

Menarik sekali untuk di komentari, di skorsnya presiden mahasiswa salah satu perguruan tinggi swasta terkemuka di Kota Bandung yang dimulai beberapa hari lalu menuai cukup banyak sorotan. Oleh banyak yang menyorot, mungkin mayoritas mahasiswa universitas tersebut, di skorsnya sang presiden mahasiswa oleh pihak rektorat kampus merupakan hal yang boleh dikata kurang ajar dan melewati nilai kesopan santunan dalam berdemokrasi. Gerakan menyelamatkan sang presma beberapa mulai melindungi sang presma. Pada beberapa artikel berita yang menginformasikan peristiwa ini juga di muat foto sang presma melakukan aksi protes dalam bentuk teatrikal yang intinya menyatakan kebijakan rektorat dalam melakukan skorsing tidak tepat dilakukan sebagai bentuk pembungkaman ide dalam era demokrasi yang masih belum bisa kita tanggapi secara kaffah, mendalam, dan menyeluruh. Demokrasi sulit dimengerti di tengah kondisi masyarakat masa kini yang mendewakan terlampau jauh adanya demokrasi yang menjunjung tinggi hak azasi manusia. Padahal Hak asasi ini selalu berjalan beriringan dengan kewajiban yang seringkali luput dipahami para penganut demokrasi.

Kembali pada konteks permasalahan di skorsnya sang Presiden Mahasiswa. Mohon maaf, saya tidak atau belum dan kurang memahami jalan pikiran orang-orang yang bergerak menyelamatkan sang presma atau jalan pikiran si presma sendiri yang berusaha mengatakan yang ia rasa benar lewat sosial media yang notabene mungkin anak awam pengguna media ini pun tahu kalau dimuat di sosial media akan dibaca ratusan bahkan puluhan ribu pasang mata di dunia. Yang menurut saya tanpa membaca Undang-undang informasi dan transaksi elektronik (UU ITE) mestinya segala hal yang dimuat dalam sosial media tidak secara eksplisit (menyebut nama pihak lain) menyinggung, mencoreng atau mempermalukan si pihak kedua yang dibicarakan dalam sosial media tersebut. Dalam bentuk apapun. Meskipun kegiatan pemuatan di sosial media atau jaringan internet lainnya disertai dengan bukti valid yang nyata-nyata si pihak kedua sebagai yang dibahas oleh si penulis memang benar melakukan kesalahan, perbuatab ini tidak bisa dinyatakan sebagai hal yang tepat saya rasa. Sekali lagi tanpa berusaha membaca dan menafsirkan UU ITE, dengan nalar saja apa yang dilakukan si presma sebagai pemuat, pengunggah informasi di dunia maya ini jelas-jelas kurang jantan adanya. Apabila ia mencium kesalahan, kerancuan, kemelencengan pada apa yang dilakukan pihak kedua yang ia bahas dalam informasinya, sudah sebaiknya ia sendiri datang pada si pihak kedua membawa bukti yang valid dan mempertanyakan, kenapa bisa terjadi kesalahan seperti ini? Menurut saya seandainya si presma datang dengan membawa argumen disertai bukti valid dan menghadapi langsung si pihak kedua yang ia tuding melakukan kesalahan, dan justru di skors, hal ini baru sangat tepat dan mutlak untuk di pahami sebagai pembungkaman. Namun, apa yang dilakukan presma dengan mengunggah informasi macam ini di dunia maya justru seperti membicarakan di belakang, atau oleh umat muslim dipahami sebagai ghibah, meskipun dalam informasinya ia menyebut dengan jelas dan boleh dibilang mengikutsertakan administrator akun pihak kedua dalam informasi yang disampaikannya. Ya dalam nalar dan pemikiran saya yang tidak mencapai dan memahami jalan pikiran sang presma dan pembelanya, menurut saya apa yang dilakukan sang presma di medan informasi dunia kurang tepat, dan kurang jantan, dan konyolnya lagi, sang presma justru mengikuti gerakan protes bersama beberapa gerakan pembelanya untuk membalas tudingan pihak kedua atas tindakan tidak sopan, melanggar etika, dan menyepelekan si pihak kedua. Dan saya tidak punya bahasa lain yang menunjukan kebingungan dan ketidakmengertian saya atas fenomena ini, ternyata banyak yang mendukung perbuatan sang presma, dan hebatnya lagi dukungan juga datang dari rekan mahasiswa kampus lain yang mendukung gerakan sang presma.

Sungguh hal ini bagi saya cukup mengecewakan, mahasiswa di Indonesia belum pantas jadi agent of change  kalau begini ceritanya. Pemahaman mereka atas fenomena sosial macam ini masih terlalu disaut dengan emosionil dan cenderung mengutamakan nilai besar yang dijunjung tanpa memahami nilai besar ini lebih dalam. Nilai-nilai sederhana yang menyokong nilai besar ini. Kurangnya pemahaman mereka akan nilai penyokong inilah yang mengantarkan mereka pada ke belum pantasan menjadi agent of change

Lebih lagi tampaknya mereka masih kesulitan membedakan mana yang benar dan salah. Benar dan salah memang relatif, nalar orang berbeda-beda, tapi, aturan, undang-undang adalah perwujudan kesamaan nilai individu dalam masyarakat untuk melindungi satu sama lain. Dan mahasiswa harusnya bergerak lebih maju dengan nalar dan pemahaman di banding solidaritas belaka. Seperti yang sering saya dengar dan bergema di tempat saya belajar, "bergerak karena kepahaman" menurut saya tagline yang sangat tepat mengiringi mahasiswa yang rajin memperjuangkan hak-hak masyarakat.

Rabu, 05 Februari 2014

Sulit Memimpin Negeri yang Besar Ini, Kawan...

Tahun ini akan menjadi tahun yang begitu ramai dengan perubahan. Dari salah sebuah majalah yang saya pernah baca, 2014 dipilih menjadi tahun dilaksanakannya pesta demokrasi di berbagai negara di dunia. Salah satunya jelas Indonesia. April nanti kita akan menunaikan kewajiban warga negara dalam melaksanakan hak politiknya. Disebut hak politik sebagai hak pun rasanya sulit untuk diterapkan, karena hak yang pada hakikatnya sesuatu yang dilaksanakan dengan kemauan sendiri, dan tanpa paksaan justru seringkali hak tersebut tidak digunakan. Bila, hanya segelintir tidak masalah, tapi dalam beberapa kasus pemilihan lingkup kampus saja, 50% suara lebih tak berhasil diserap. Dapat dibilang banyak orang yang tidak melaksanakan haknya. Padahal, hak tadi akan berpengaruh besar pada sistem kemasyarakatan kita, dan bisa jadi karena disia-siakannya hak tadi, maka hak orang lain memperoleh kehidupan yang baik pun terganggu. Maka, tidakkah ini bisa disebut sebagai pelaksanaan kewajiban dalam menunaikan haknya?

Baru soal melaksanakan hak yang satu itu saja sangat sulit tampaknya. Baru hak yang identik dengan pelaksanaan secara sukarela, senang hati, tanpa paksaan. Bagaimana dengan kewajibannya? Tak bisa dibayangkan pelaksanaannya.

Politik sering dibilang kejam, saya pikir pun begitu. Pemimpin sering dikata tak pantas, berjuang demi perut sendiri, tak berintegritas. Salah apa di negeri ini sering di timpakkan pada mereka yang sekarang duduk sebagai pengelola. Presiden terlambat bergerak ratusan juta orang mencerca, menteri-menteri kita melakukan hal yang dianggap aneh akan di bilang mereka menyimpang. Anggota dewan, Gubernur, Camat, Lurah, dan seluruh perangkat lainnya rawan sekali dengan stigma negatif masyarakat. Tidak bisa dipungkiri, saya juga bagian dari masyarakat yang seringkali berpikir demikian dalam hal yang saya hadapi sehari-hari. Paling enak memang menyalahkan salah satu pihak, dan sasaran empuk yang sudah lumrah untuk disalahkan di negeri ini tak lain tak bukan adalah orang-orang yang duduk di kursi kekuasaan.

Memang terciptanya stigma begitu tidak akan hanya muncul begitu saja, tapi muncul pula lewat perilaku pihak yang tertempel stigma padanya, misal, stigma adik malas, karena mungkin si adik ini tidak mau sekolah, atau tidak mau mengerjakan pr dan semacamnya. Bisa pula kita nyatakan mereka yang saat ini tertempel padanya stigma buruk yaitu orang-orang yang tengah ada pada kekuasaan mendapat citra buruk akibat ada kesalahan yang mereka lakukan. Namun, rasanya berlebihan ketika kita menggeneralisir kesalahan yang mereka buat menjadi seutuhnya keburukan ada pada dirinya. Sering kita dengar, "ah si a, ini ngurus negara ga benar, banyak omong, tidak ada aksi", "si B ini mukanya menjengkelkan, omongannya nyebelin, ga pantas dia jd pejabat" dan omongan lain yang biasa kita dengar. Ini adalah contoh pandangan manusia Indonesia kebanyakan pada orang-orang yang tengah melaksanakan amanahnya untuk negara. Terlalu di generalisir, kadang tidak relevan.

Saya juga pernah dengar omongan kerabat saya, sekarang pakar di Indonesia ini menjamur tidak ada ujungnya, orang yang bicara dan dianggap tau soal tertentu akan menjadi pakar tertentu. Belum lagi pengamat, aktivis dan ba bi bu yang lain. Rasanya pandangan mereka yang dirasa lebih moderat akan di anggap masyarakat kebanyakan Indonesia sebagai pandangan jitu, pandangan tepat, gerakan nyata yang di butuhkan masyarakat Indonesia yang kelaparan. Tidak masalah dengan itu, banyak pula pengamat, aktivis, dan pakar berkualitas yang opininya saya sering setujui, tapi masalahnya banyak orang Indonesia yang sering terlalu menggeneralisir hal tertentu. Ketika ada pandangan dari salah seorang pengamat tentang suatu hal yang dilakukan si A, banyak orang tidak menerima dengan baik poinnya, tapi langsung menangkap pada konklusi si A melakukan sesuatu dengan tidak tepat, maka A akan menjadi tidak tepat pula gerak-geriknya di mata masyarakat.

Saya merasa perlu kita sadari itu bahwa mereka yang saat ini menjalankan tugasnya untuk masyarakat juga manusia. Manusia yang juga sering berbuat salah seperti kita ini. Ketika ada hal yang nampak salah pada apa yang mereka lakukan, tugas kita mengingatkan, bukan menyalahkan, atau lebih buruk lagi mencap buruk, semua tentang orang itu salah, semua sistem yang kita jalani salah, dan tidak percaya akan keadaan lalu menutup mulut dan telinga dan jadi apatis. Kita juga punya kewajiban untuk memperbaiki apa yang dirasa salah, meskipun bukan kita yang melakukan, tidakkah Indonesia juga bukan milik mereka yang berkuasa saja? Tapi punya kita juga 'kan?

Ketika ada yang miring dimata kita tugas kita mengingatkan, dengan cara terbaik. Apakah dengan teriakan, hinaan, coretan, atau tindakan cenderung radikal lainnya bisa dibilang cara yang terbaik? Ingatkan saja dengan melaksanakan tugas kita dengan baik. Saya pribadi percaya, diri saya yang lebih baik yang akan menjadikan keadaan lebih baik pula. Bukan memaksa sistem menjadi lebih baik tanpa berbuat apa-apa dan cenderung meminta sistem saja agar jadi lebih baik. Padahal kita ini juga termasuk sistem tersebut. Banyak orang gemar sekali mencap buruk hal tertentu tanpa berkaca pada apa yang telah dia perbuat. Saya pun seringkali begitu, dan sedang berusaha menjadi lebih baik dengan membangun saya yang lebih baik.

Sebagai tambahan, saya pernah dengar omongan salah seorang dosen, "bubarkan saja negeri ini, mungkin ia lebih baik dalam ukuran yang lebih kecil karena terlalu rumit mengurus negara yang besar ini, bukankah tujuan negara ini pun mensejahterakan rakyatnya, mungkin rakyat akan lebih sejahtera ketika kita tidak lagi sebesar Indonesia ini" Ya saya setuju pada poin rumit mengurus negara yang besar ini, karena bayangkan di negara sebesar ini dengan urusan yang banyak sekali, yang kompleks satu sama lain, masalah alam, lingkungan, uang, agama, sosial, kesejahteraan dan sebagainya, dalam lingkup kecil saja, kota, kabupaten, desa, rt, bahkan dalam keluarga sendiri banyak yang belum mampu mengurusnya dengan baik, apa lagi negara? Akan terus menjadi lebih sulit ketika kita bertahan dalam posisi berpangku tangan seperti yang kita lakukan hari ini.

Senin, 06 Januari 2014

Rangka yang Berisi

Belum lama ini berita menyuguhkan berita menarik tentang sikap Basuki Tjahja Purnama, Ahok, Wakil Gubernur DKI Jakarta, yang menolak instruksi gubernur DKI yang tak lain adalah pasangan dan atasannya, Joko Widodo, Jokowi. Instruksi Jokowi tentang keharusan PNS naik angkutan umum menuju tempat kerjanya ditentang mentah-mentah oleh Ahok. Ia dianggap berbagai pihak sebagai orang arogan atas sikapnya yang pada dasarnya secara hierarkis organisasi menolak perintah atasannya. Namun, ada yang menarik untuk kita bahas fenomena ini, kebijakan "membumi" Jokowi, dan sikap "saklek" Ahok.

Jokowi-Ahok, selama ini dikenal sebagai pasangan yang pas, saling melengkapi dan tidak ada masalah selama 1 tahun lebih menjabat. Jokowi selama ini terkenal dengan "blusukannya" turun langsung ke lapangan dan membenahi apa yang perlu dibenahi secara fasilitas, dan mengakkan apa yang perlu di tegakkan di Kota Multikultural macam Jakarta. Sementara Ahok, ambil posisi memperbaiki kondisi dan struktur internal pemerintah daerah DKI Jakarta. Kita selama ini mengenal Jokowi, sebagai sosok yang santun, ramah, apa adanya, dan talk less do more. Menjadikan ia sosok populer, bahkan di gadang-gadangkan maju sebagai calon Presiden meski berarti, meninggalkan kursi kepemimpinan di DKI Jakarta yang tak akan tuntas masanya andai dia memutuskan maju. Jokowi menjadi begitu populer atas sikapnya yang apa adanya itu, bahkan lebih populer dari pasangannya pada pemilihan gubernur DKI Jakarta 2012 silam, yang kini menjabat sebagai wakil gubernur DKI Jakarta, Ahok. Ahok dikenal sebagai sosok yang keras, disipli, tepat waktu, juga apa adanya. Bedanya apa adanya Ahok ini lebih pada apa yang ada di pikirannya di utarakannya dengan caranya yang kadang cenderung menyakitkan karena ucapannya yang terasa kurang nyaman di dengar. Tapi, jika di cermati lagi omongan Ahok ini benar dan sesuai dengan apa yang ada, contohnya, ketika ramai di situs Youtube.com tayangan Ahok memarahi salah satu stasiun tv swasta. Ahok juga beberapa kali dikecam oleh berbagai pihak atas tindakannya memarahi perangkat pemerintahan DKI Jakarta yang bahkan di upload pula ke Youtube.com. Ketika kritikan datang, bahkan oleh Mantan Gubernur DKI Sutiyoso, Ahok menjawab dengan jawaban simpel tapi menjawab, 

"katanya mau keterbukaan" Tak perlu lagi kita rasa memperdebatkan tindakan tegasnya yang di pamerkan pada khalayak manusia seluruh dunia. 

Kembali pada perkara, sikap menentang ahok kepada instruksi Gubernur. Saya baca dan lupa siapa yang mebuat statement, salah seorang pakar kebijakan publik dari Universitas Indonesia menyatakan sikap Ahok yang cenderung arogan ini tidak tepat, karena kebijakan Jokowi pada dasarnya adalah kebijakan melaksanakan gerakan simbolik, agar diikuti warga Jakarta lainnya untuk mengurangi kemacetan dan pemborosan energi berlebihan. 

Kalau kita persempit, akan kita dapat dua pokok pertentangan, Gerakan simbolik Jokowi, dengan efektifitas Ahok. Gerakan simbolik Jokowi ini menurut saya gerakan yang baik, cermat, juga sangat tepat dengan kondisi DKI Jakarta khususnya saat ini. Gerakan ini adalah sebuah gerakan yang mampu menjadi acuan bagi banyak masyarakat di Jakarta bahwa tidak ada yang salah bahkan lebih nyaman dengan angkutan umum ketimbang tersiksa dengan kemacetan yang sudah jadi pemandangan sehari-hari ibukota. Selain itu, dengan gerakan ini, Jokowi ingin membuktikan bahwa dengan angkutan umum, efisiensi pengeluaran dana juga menjadi lebih efisien. Namun, ditolaknya ajakan ini oleh Ahok dengan alasan yang menurut saya tidak bisa di salahkan juga. Ia menolak karena menganggap dengan angkutan umum, ia justru bisa jadi datang lebih terlambat dari biasanya untuk bekerja. Keterlambatan akan menyita waktu Ahok dan mengambil waktunya untuk mengabdi pada rajyat DKI Jakarta. Ahok lebih memandang gerakan simbolis ini sebagai sebuah pamer semata yang tidak lebih penting daripada ketepatan waktu. Ahok memang selama ini dikenal disiplin, kerap kali ia bahkan datang lebih pagi dari satpam yang berjaga di kantornya, Ia berucap, 

"kalau mau contoh, contoh yang baik-baik dari saya, tidak datang terlambat, kerja setiap waktu, disiplin memakai waktu dan tidak korupsi" Kita bisa baca dari statement ahok, Ia lebih mengutamakan gerakan simbolis pada pergerakan moral masyarakat di banding ke yang sifatnya teknis seperti gerakan simbolis Jokowi. Lagi bisa kita tarik, Gerakan simbolis pada moral dan etos kerja Ahok, dan gerakan simbolis teknik yang ber efek pada khalayak banyak.

Namun, disini saya tidak akan meruncingkan pemahaman kepada pertentangan Ahok-Jokowi. Saya ingin membicarakan seputar sikap dan kebijakan mereka yang menurut saya sama baik, tanpa memandang mana yang lebih tepat untuk khalayak masyarakat. Kalau kita lihat sikap yang diambil keduanya sama-sama beralasan, dan alasan satu sama lain tepat dan tidak perlu dibantah. Karena alasan yang mereka utarakan sama-sama memiliki "isi". Kedua orang ini dalam mengambil tindakan tidak merupakan tindakan yang bersifat politis demi dongkrakan politik. Karena satu sama lain punya prinsip dan dasar dalam mengambil tindakannya. Relevansi dengan judul diatas, Jokowi, kebijakannya dapat dianalogikan sebagai Rangka yang berisi. Ia melakukan tindakan yang punya sebab jelas kenapa tindakan dan kebijakan itu diambil, bahkan rasanya kebijakannya tak bisa di cela karena tepat dengan keadaan sekarang. Begitu pula dengan Ahok, sudah jadi kebiasaan bukan, para pejabat di fasilitasi sedemikian baik, dari rumah tinggal, sarana kerja, kendaraan, hinggan ada tunjangan pakaian. Tetapi Ahok memanfaatkan segala fasilitas untuk pejabat ini dengan sangat tepat sasaran, menggunakannya untuk kerja sebaik mungkin demi kepentingan rakyat. Ahok saya lihat adalah tipe orang yang memang apa adanya, jika ia tidak butuh tanpa mengurangi efisiensi kerjanya, ia tak akan pakai fasilitasnya. Contohnya, rumah dinasnya yang di tolak karena ia punya rumah sendiri di Jakarta. Ya, ia memahami dengan jelas kenapa ada fasilitas untuk pejabat dan dari mana datangnya. Fasilitas yang diberikan padanya digunakan sebaik-baiknya untuk megembalikan pada pemiliknya, rakyat. Jelaslah kedua sosok ini tindakannya merupakan tindakan yang berisi, mengerti sebab, dan dasar dalam mengambil tindakan. Bahasa keilmuannya, substansiil. Rangka yang Berisi.

Minggu, 05 Januari 2014

Idealisme itu terlalu utopis?

Seorang teman, belum lama iseng buka-buka folder gambar di handphone saya. Muncul foto ini :
Ibrahim Datuk Tan Malaka. Tokoh yang namanya tak banyak di dengar anak muda sekarang. Dari puluhan bahkan ratusan pendiri bangsa, nama Tan Malaka mungkin hanya nyempil di urutan ke sekian ratus.  Padahal dia punya gagasan-gagasan besar yang siap melambungkan Negaranya, yang entah kenapa, apa istimewanya, begitu besar dia perjuangkan hingga mengelana keliling dunia dengan puluhan nama samaran yang entah mengantarkannya pada apa. Mati di cap pengkhianat dengan partainya kala itu Murba. Ya, politik, tarik ulur, sedikit senggolan lah yang mengantarkan peluru bersarang pada bung "tak terlihat" ini di ujung akhir nafasnya. Bung "tak terlihat", jasanya sama besar, apa yang diberikan sama besar dengan banyak bung-bung lain yang kita kenal di bumi kita ini. Tapi, Bung yang satu ini seolah pengabdiannya lenyap ditelan negaranya sendiri yang diperjuangkan sedemikian rupa. Tak akan saya ceritakan detil tentang beliau, perjuangannya dan kisahnya, namun bila berminat coba baca buku seri yang dikeluarkan Majalah Tempo pada seri Bapak Bangsa, "Tan Malaka: Bapak Republik yang Dilupakan". Tentang beliau ini hanya menjadi pengantar menuju pokok pembahasan saya kali ini.

Kembali ke teman saya, Ia lalu bertanya,
"apa maksudnya gambar ini? Kenapa lu simpen?"

"Karena dia unseen but real"

Unseen but real seolah menjadi kalimat kesukaan saya mengenai suatu perjuangan yang hakiki, tak terlihat tapi nyata, tak dapat di rasakan tapi dapat ditangkap logika. Bahkan itu adalah salah satu bentuk pancasila yang abstrak-umum.

Namun, saya mencoba berpikir kembali, apakah unseen but real ini tepat dalam mencapai apa yang kita perjuangkan hari ini? Dua tokoh idealis kesukaan saya, Soe-Hok Gie dan Tan Malaka, keduanya para Unseen but real-er sejati. Berlari tanpa terlihat, tapi berlari, mendobrak tanpa terlihat, tapi mendobrak. Itu mereka. Perjuangan mereka menurut saya sangat-sangat patut di puji. Menjaga nilai tanpa pamrih yang sangat tinggi. Namun, saya pun tak mengerti apa yang sejatinya mereka cita-citakan? Apakah yang mereka cita-citakan itu terlalu normatif hingga sulit nalar dan praktek untuk menggapainya? Karena kerasnya perjuangan mereka tak pernah terkristalkan menjadi sistem kehidupan yang dirasakan secara umum bagi masyarakat. Dobrakan para unseen-er ini cenderung mengena sasaran lalu hancur menjadi abu yang lalu di hirup individu-individu untuk menyetujui gagasan mereka. Namun, gagasan mereka tak pernah menjadi gagasan universal, gagasan masyarakat, untuk menjadi cita-cita bersama. Ya, pemikiran dan gagasan mereka hidup di hati dan akal para pengagumnya saja, namun tak pernah di bawa ke ranah praktis untuk di buatnya menjadi kenyataan. Perjuangan mereka tak pernah sia-sia, tetapi lenyap tak bertuan, setelah lantang suara parau mereka yang biasa di lagukan lewat pena tak lagi menulis kata-kata. Tan Malaka pernah berucap.

"dari dalam kubur suaraku akan lebih lantang" kurang lebih begitu.

Namun, saya belum menemuka ke lantangan suaranya hari ini. Karena, tak ada yang berubah dari dunia ini. Jauh dari normatif. Jauh dari angan-angan. Jangan-jangan cita-cita mereka saja yang terlalu utopis? Terlalu elok untuk di praktekan? Karena, seperti kata Gie, Kebenaran hanya ada di langit. Mungkin, Pancasila, yang fungsi dan kedudukannya sebagai pandangan hidup bangsa, ideologi, juga dasar Negara itu dibuat terlalu tinggi bagi Indonesia oleh bung karno dan kawan-kawan. Disebut pandangan hidup bangsa, namun kita sendiri seolah tak pernah menemukan titik dimana kita harus memandang, Pancasila juga terlalu utopis?

Saya sampai pada konklusi yang menjemukan dan menyedihkan, apakah dunia yang diidam-idamkan banyak orang yang santun bersahabat dan bahagia seperti cerita-cerita dongeng masa kecil tentang kerajaan yang tentram hanya akan selalu menjadi cerita yang tak bisa kita bawa ke dunia nyata ini? Munkin, dunia terlalu fana, terlalu singkat untuk membuat kisah tadi jadi nyata.
Tuhan menggenggam mimpi orang yang berusaha, dan dunia ini bukan hanya milik saya, Gie, atau Tan Malaka, atau idealis-idealis lain, tapi milik berapa juta pemimpi lainnya yang harusnya mampu merealisasikan mimpi ini pula. Tampaknya menjadi unseen-er meski real tak lagi tepat, para real-man harus lebih seen untuk menjadi corong, mercusuar, tonggak peradaban yang bahagia dan kita impikan. Semoga, kita semua, termasuk saya, diberi kesempatan menjadi motor penggerak menuju peradaban yang bahagia.

Jumat, 03 Januari 2014

Mencari yang Hakiki (2)

Di tempat baru saya ini,  saya mengikuti kegiatan sesuai nurani saya. Karena di lingkungan baru ini, Mahasiswa memanggul kemana-mana Idealisme. Sering saya menemukan pekik-pekik perlawanan mereka terhadap entah apa yang mereka lawan di sisi-sisi kampus. Saya pun tak tahu mereka berdiri dimana dan melawan siapa. Bagi saya teriakan mereka itu banyak omong kosongnya. Semangat mereka seolah tanpa mengkaji dari semua sisi sebelum mereka bisa berteriak. Kurang, atau belum dewasa mungkin. Di wahana yang bagi saya begitu non-sense ini saya pun mengikuti apa yang menarik hati saya, kegiatan sosial. Saya ikut komunitas kecil-kecilan yang kegiatannya mengajar anak-anak saban malam minggu. Dan sekali waktu saya malu ketika salah seorang yang saya ajar, siswi SMA yang banyak anak sekarang bakal bilang dia alay atau semacamnya, rupanya seorang guru ngaji di desanya. Ketika ditanya sudah berapa kali khatam, saya hanya bisa menjawab dengan rasa malu, belum pernah.

Di tempat ini saya melihat kawan-kawan baru yang menggugah hati saya untuk kembali menyentuh agama. Mereka tampak hidup dengan kebersahajaan, ketenangan mereka sendiri dengan doa-doa dan ibadah mereka. Tak peduli sorak sorai gemerlap mahasiswa lain yang tampak memiliki segalanya. Dan saya rasa yang macam itulah idealisme sejati.

Di hati kecil saya ini rupanya masih ada keinginan mencari 'sesuatu' yang bisa digenggam, bisa di lakukan orang-orang demi agamanya. Saya yang mulanya mencari hobi dengan nonton film-film barat di laptop, mulai jenuh. Sebagai mahasiswa yang tak banyak tugas dan kegiatan, saya cari hobi lain. Dan hari itu saya pergi ke sebuah toko buku, iseng mencari pembunuh waktu yang paling sesuai bagi saya.

Dari rak politik yang saya gemari, saya bergeser ke rak biografi yang biasanya membuat tangan saya gatal untuk membacanya, namun dua tipe buku ini tak menggoda saya. Lanjut, novel anak remaja, cinta-cintaan, rasanya terlalu ringan, tidak membuat saya berpikir. Novel sastra dan filosofi saya baca beberapa dan pusing kepala dibuatnya, Buku macam itu , tak betah saya membacanya. Saya putar-putar toko buku dan melihat-lihat buku best seller, belum ada yang menarik saya ke kasir untuk membelinya. Buku agama, saya punya banyak di kos. Banyak pula yang belum selesai. Buku apa? Saya buka handphone saya yang ternyata di dalamnya tersimpan catatan beberapa judul buku, dan saya ingat buku ini yang akan saya beli. Buku tentang perjalanan seseorang keliling Eropa. Entah kenapa saya selalu tertarik dengan hal berbau negara lain. Dan kebetulan novel tadi bicara tentang Islam juga. Saya beli.

Di kos, saya baca beberapa lembar awal, sampai 5 halaman, tutup. 5 halaman tutup. Begitu sampai suatu hari saya libur dan baca agak lama. Rupanya novel memang sulit untuk di tutup setelah menjelang setengah novel, isinya makin seru dan akhirnya saya selesai membaca. Novel inlah yang memberi saya sebuah konklusi yang secara sederhana memberi efek besar pada saya, kesadaran saya. Bahwa agama yang dari lahir disematkan pada saya, yang bertahun-tahun saya belajar teorinya, rupanya tak sekedar teori saja. Tetapi pada agama Islam yang selama ini saya jalani sebagai tugas semata punya nilai lebih yang membuat saya ingin betul-betul memperdalamnya. Islam menawarkan kedamaian, juga perdamaian. Sederhana, tapi entah mengapa membuat saya cukup tertarik untuk tau lebih dalam. Saya jadi ingat, banyak orang barat tak beragama. Mereka keliling dunia mencari sesuatu yang di dunianya mereka tidak tahu. Rata-rata mereka menemukan sesuatu ketika di Asia, kedamaian dalam agama. Dan itulah yang saya sadari dari novel ini.

Kedamaian yang seperti apa? Tenang, tiba-tiba rasanya tenang, ketika kita berkeluh kesah lebih banyak pada Tuhan dibanding pada kawan yang selama ini getol saya lakoni. Karena ketika kita 'berbicara' pada Tuhan, terselip suatu keyakinan yang akan dan harus kita pegang. "kita akan dapat yang terbaik apapun hasilnya". Tidak asing bukan? Tapi memahaminya yang sulit. saya jadi berpegang pada adagium yang sudah lama terkenal "everything happens for a reason" dan "reason" yang sesungguhnya itu datang dari Tuhan, karena yang turun pasti yang terbaik, atau ada sesuatu dibaliknya. Saya jadi begitu percaya tentang "His Invisible hand", semua ada yang mengatur. Lama saya tahu itu, tapi baru saya pegang sekarang. Dan dengan keyakinan-keyakinan itu saya pun menjadi lebih tenang menjalani sesuatu karena yakin apa yang kita sedang jalani kalau dengan ridhoNya akan menjadi yang terbaik buat kita.

Satu hal yang membuat saya ingin menulis tentang ini, tempo hari saya sedang melihat-lihat Facebook. Dan di Timeline saya melihat ada sebuah akun yang menarik saya untuk masuk. Bau-bau agama. Saya masuk, baca beberapa artikel lalu saya baca beberapa komentar. Dan tampaknya ada hal yang begitu menjadi ironi bagi saya. Ada salah seorang yang komentarnya menjadi bumerang bagi dia dan Agamanya. Ia Islam, dan komentar yang dilontarkan mengkomentari seseorang diatasnya yang memang statementnya menentang isi artikel tentang agama ini. Tampaknya dari nama dia seorang non-muslim, Dan si Muslim ini menjawabnya dengan ucapan-ucapan kasar yang tidak pantas dan mencederai nama Islam yang sejati. Islam yang menawarkan kebaikan dan perdamaian.

Pada salah satu buku yang sedang saya baca tentang panglima Islam yang menaklukan suatu wilayah yang dijanjikan Rasulullah, ada suatu etika yang diajarkan Rasulullah, saya lupa bagaimana kata-katanya, tapi intinya, menyeranglah ketika lawanmu menyerang, Jangan menyerang jika tidak ada apapun yang menyerangmu. Betapa Islam sebenarnya agama yang menjanjikan perdamaian di dalamnya. Menjanjikan perdamaian sebagai sesuatu yang hakiki menurut saya. Bahkan dalam novel tentang penjelajahan Eropa yang saya baca tadi, di gambarkan ketika Islam di cemooh orang barat, dan dijawab dengan tenang dan hangat oleh si muslim, orang barat ini jadi ingin tahu lebih soal Islam. Tertanam, Menjadi agen muslim yang baik : dengan perdamaian, sopan santun, dan kehangatan.

Ironis rasanya melihat banyak orang yang menurut saya pengetahuannya tentang Islam jauh diatas saya justru menampakkan Islam dengan wajah antagonis yang tanpa kelembutan melarang sesuatu bahkan dengan paksa. Tidak hanya soal kaum-kaum yang salah mengartikan jihad, tapi juga terjadi dalam kehidupan sehari-hari, kawan kita yang kadang bertindak sebagai polisi syariat bagi orang di sekelilingnya yang kadang melarang sesuatu dengan paksaan, bukan pemahaman, kelembutan dan perdamaian. Saya sendiri belum bisa menjadi agen muslim dengan kelembutan, saya masih banyak belajar. Namun, saya cukup menyayangkan mereka-mereka yang kemana-mana dengan label muslim yang jelas pada tubuhnya (yang tidak seperti saya yang seringkali disangka beragama selain islam), justru sering menampilkan wajah garang tentang Islam, yang membuat islam diartikan lain oleh orang lain, malah ada oknum dengan Nama besar Islam (di Negeri ini dan di lingkungan saya) yang sering saya dengar cerita justru hadir dengan ambisi-ambisi yang memuakkan. Hal inilah yang justru bagi saya jadi kulit agama Islam yang bisa dilihat banyak orang negeri ini. Pandangan orang Eropa, Konstantinopel, pada pasukan muslim di tahun 1400-an tampaknya sesuai dengan keadaan muslimnya sendiri hari ini, Pasukan Muslim, yang kejam dan penuh ambisi.

Padahal, didalamnya Islam itu hadir dengan persahabatan, dengan pesan membawa kebaikan dan kebenaran, Itu menurut kacamata saya. Dan menjadi pesan penting bagi kita semua untuk memahami segala sesuatunya secara esensial, secara substansial, bukan terbatas pada kulit luarnya saja, terbatas pada tradisi, juga kebiasaan.

Kamis, 02 Januari 2014

Mencari yang hakiki (1)

Saya terlahir muslim, sekitar 19 tahun lalu. Sebelum berkenalan dengan taman kanak-kanak, rasanya orang tua saya mengajak saya lebih dulu untuk mengenal agama saya, Islam, di Masjid tidak jauh dari rumah. Dan secara kontinyu saua belajar mengaji dan agama di masjid tersebut hingga masuk SD. TK dan SD saya pun keduanya institusi islam yang cukup baik di kota saya. Di SD ini saya mendapat  bekal agama yang begitu banyak. Usia 10 tahun, saya pindah kota, ikut ayah bekerja. Kali ini SD saya SD Negeri, pengajaran agama tak sebanyak di SD saya sebelumnya. Maka di luar sekolah saya  ikut bimbingan agama di masjid dekat rumah. Berlanjut ke bimbingan privat hingga saya SMA.

Cukup saya sadari di SD kedua saya, saya mulai berinteraksi dengan beragam kawan, jauh lebih beragam dari kawan saya di kota lama yang rata-rata berlatarbelakang sama. Bahkan disana tidak ada yang non-muslim. Ketika di SD baru, saya banyak bersinggungan dengan hal baru yang berwarna, positif dan negatif. Saya mulai ikut-ikutan. Seingat saya positif dan negatif berjalan beriringan. Meski hingga SMA saya tetap mendapat bimbingan agama, tidak dapat dipungkiri saya masih sering berjabat tangan dengan banyak hal yang dilarang agama. Ya dosa-dosa anak seusia saya ketika itu mungkin. Hari itu saya merasa, Ibadah, dan hal-hal berbau agama lainnya wajib saya lakukan sebagai penggugur kewajiban saja. Tanpa mendalami maknanya.

Di penghujung SMA, saya banyak sekali berdoa, banyak sekali beribadah. Ibadah yang sering saya abaikan di hari biasa, saya lakukan saat itu. Tujuannya satu : Masuk PTN favorit dengan jurusan pilihan saya. Belajar saya ikuti, Sampai malam, begadang-begadang, kala itu teman-teman saya juga begitu. Jadi, kalau saya tidak ikut begitu saya merasa kalah. Waktu itu keyakinan saya lebih ke "kalau kita berdoa dan berusaha pasti dikabulkan". Rupanya setelah pengumuman penerimaan, saya gagal masuk jurusan di universitas yang saya mau. Dan dalam sebulan saya ditolak lima universitas negeri lainnya. Saya lalu lupa pada Tuhan, lupa segalanya. Saya malas beribadah, berdoa enggan, apalagi ibadah-ibadah yang tidak wajib yang jadi kebiasaan ketika menjelang tes. Saya merasa doa saya sia-sia.

 Dan lalu saya meneruskan ke PTS yang boleh dibilang bagus untuk jurusan yang saya masuki. Disini PTS saya adalah institusi agama non muslim. Kawan-kawan saya pun boleh dibilang orang-orang berpikiran liberal. Praktis saya tidak dapat bimbingan agama Islam. Apalagi saya di kota yang jauh dari orangtua. Saya jarang sholat wajib, berkelakuan jauh dari auran agama. Tapi, Nilai saya memuaskan. Saya jadi berpikir, tanpa doa, saya bisa kalau berusaha. Ditambah ajaran-ajaran filsafat yang meneguhkan hati saya, Agama hanyan bentuk perwujudan sesembahan dari manusia, semua manusia pasti menyembah sesuatu, meminta sesuatu pada suatu entitas tertentu yang ada tidaknya pun kita tidak tahu. Di luar nalar, membantah logika. jadi Tuhan dan yang kita sembah itu hanya kecenderungan manusia yang logis. Bukan karena ada Tuhan yang menciptakan. Saya hampir Atheis saat itu.

Tiba-tiba saya sakit, pulang ke rumah orangtua saya, dan cukup lama saya pulih. Saya tertinggal materi kuliah. Dan akhirnya cuti. Berbagai alasan, orangtua saya menyarankan saya tes masuk Universitas lain di kota asal orangtua saya. Kali ini bebas jurusan pilihan saya, karena kalau diingat, jurusan yang saya pilih ketika SMA itu adalah permintaan orangtua saya yang sebenarnya bukan kesukaan saya.

Setelah semua Tes diikuti, akhirnya saya masuk ke PTN keinginan saya dari kecil. Tapi, di jurusan yang berbeda dengan yang saya mau di SMA. Saya merasa jurusan ini memang yang terbaik. Di tempat baru inilah, saya mulai sering berdiskusi dengan kawan saya tentang agama Islam, Kawan saya ini memahami seberapa jatuhnya iman saya di tempat lama saya. Ia menyodorkan beberapa video ceramah yang menyarankan untuk bertaubat. Cukup membuat saya takut, tapi lalu saya lupa dengan ketakutan saya itu. Namun, ajakan teman saya itu membuat saya sedikit lebih banyak beribadah, dan mulai melangkahkan kaki ke masjid. Meskipun tidak rutin karena saya masih cenderung memahami ibadah saya sebagai penggugur dari kewajiban. Kalau saya tidak melakukan saya akan dihukum Tuhan. Baik, di dunia maupun akhirat. Ibadah saya sekadar formalitas, mengikuti prosedur saja. Bersambung