About my Blog

But I must explain to you how all this mistaken idea of denouncing pleasure and praising pain was born and I will give you a complete account of the system, and expound the actual teachings of the great explorer of the truth, the master-builder of human happiness. No one rejects, dislikes, or avoids pleasure itself, because it is pleasure, but because those who do not know how to pursue pleasure rationally encounter consequences that are extremely painful. Nor again is there anyone who loves or pursues or desires to obtain pain

Senin, 06 Januari 2014

Rangka yang Berisi

Belum lama ini berita menyuguhkan berita menarik tentang sikap Basuki Tjahja Purnama, Ahok, Wakil Gubernur DKI Jakarta, yang menolak instruksi gubernur DKI yang tak lain adalah pasangan dan atasannya, Joko Widodo, Jokowi. Instruksi Jokowi tentang keharusan PNS naik angkutan umum menuju tempat kerjanya ditentang mentah-mentah oleh Ahok. Ia dianggap berbagai pihak sebagai orang arogan atas sikapnya yang pada dasarnya secara hierarkis organisasi menolak perintah atasannya. Namun, ada yang menarik untuk kita bahas fenomena ini, kebijakan "membumi" Jokowi, dan sikap "saklek" Ahok.

Jokowi-Ahok, selama ini dikenal sebagai pasangan yang pas, saling melengkapi dan tidak ada masalah selama 1 tahun lebih menjabat. Jokowi selama ini terkenal dengan "blusukannya" turun langsung ke lapangan dan membenahi apa yang perlu dibenahi secara fasilitas, dan mengakkan apa yang perlu di tegakkan di Kota Multikultural macam Jakarta. Sementara Ahok, ambil posisi memperbaiki kondisi dan struktur internal pemerintah daerah DKI Jakarta. Kita selama ini mengenal Jokowi, sebagai sosok yang santun, ramah, apa adanya, dan talk less do more. Menjadikan ia sosok populer, bahkan di gadang-gadangkan maju sebagai calon Presiden meski berarti, meninggalkan kursi kepemimpinan di DKI Jakarta yang tak akan tuntas masanya andai dia memutuskan maju. Jokowi menjadi begitu populer atas sikapnya yang apa adanya itu, bahkan lebih populer dari pasangannya pada pemilihan gubernur DKI Jakarta 2012 silam, yang kini menjabat sebagai wakil gubernur DKI Jakarta, Ahok. Ahok dikenal sebagai sosok yang keras, disipli, tepat waktu, juga apa adanya. Bedanya apa adanya Ahok ini lebih pada apa yang ada di pikirannya di utarakannya dengan caranya yang kadang cenderung menyakitkan karena ucapannya yang terasa kurang nyaman di dengar. Tapi, jika di cermati lagi omongan Ahok ini benar dan sesuai dengan apa yang ada, contohnya, ketika ramai di situs Youtube.com tayangan Ahok memarahi salah satu stasiun tv swasta. Ahok juga beberapa kali dikecam oleh berbagai pihak atas tindakannya memarahi perangkat pemerintahan DKI Jakarta yang bahkan di upload pula ke Youtube.com. Ketika kritikan datang, bahkan oleh Mantan Gubernur DKI Sutiyoso, Ahok menjawab dengan jawaban simpel tapi menjawab, 

"katanya mau keterbukaan" Tak perlu lagi kita rasa memperdebatkan tindakan tegasnya yang di pamerkan pada khalayak manusia seluruh dunia. 

Kembali pada perkara, sikap menentang ahok kepada instruksi Gubernur. Saya baca dan lupa siapa yang mebuat statement, salah seorang pakar kebijakan publik dari Universitas Indonesia menyatakan sikap Ahok yang cenderung arogan ini tidak tepat, karena kebijakan Jokowi pada dasarnya adalah kebijakan melaksanakan gerakan simbolik, agar diikuti warga Jakarta lainnya untuk mengurangi kemacetan dan pemborosan energi berlebihan. 

Kalau kita persempit, akan kita dapat dua pokok pertentangan, Gerakan simbolik Jokowi, dengan efektifitas Ahok. Gerakan simbolik Jokowi ini menurut saya gerakan yang baik, cermat, juga sangat tepat dengan kondisi DKI Jakarta khususnya saat ini. Gerakan ini adalah sebuah gerakan yang mampu menjadi acuan bagi banyak masyarakat di Jakarta bahwa tidak ada yang salah bahkan lebih nyaman dengan angkutan umum ketimbang tersiksa dengan kemacetan yang sudah jadi pemandangan sehari-hari ibukota. Selain itu, dengan gerakan ini, Jokowi ingin membuktikan bahwa dengan angkutan umum, efisiensi pengeluaran dana juga menjadi lebih efisien. Namun, ditolaknya ajakan ini oleh Ahok dengan alasan yang menurut saya tidak bisa di salahkan juga. Ia menolak karena menganggap dengan angkutan umum, ia justru bisa jadi datang lebih terlambat dari biasanya untuk bekerja. Keterlambatan akan menyita waktu Ahok dan mengambil waktunya untuk mengabdi pada rajyat DKI Jakarta. Ahok lebih memandang gerakan simbolis ini sebagai sebuah pamer semata yang tidak lebih penting daripada ketepatan waktu. Ahok memang selama ini dikenal disiplin, kerap kali ia bahkan datang lebih pagi dari satpam yang berjaga di kantornya, Ia berucap, 

"kalau mau contoh, contoh yang baik-baik dari saya, tidak datang terlambat, kerja setiap waktu, disiplin memakai waktu dan tidak korupsi" Kita bisa baca dari statement ahok, Ia lebih mengutamakan gerakan simbolis pada pergerakan moral masyarakat di banding ke yang sifatnya teknis seperti gerakan simbolis Jokowi. Lagi bisa kita tarik, Gerakan simbolis pada moral dan etos kerja Ahok, dan gerakan simbolis teknik yang ber efek pada khalayak banyak.

Namun, disini saya tidak akan meruncingkan pemahaman kepada pertentangan Ahok-Jokowi. Saya ingin membicarakan seputar sikap dan kebijakan mereka yang menurut saya sama baik, tanpa memandang mana yang lebih tepat untuk khalayak masyarakat. Kalau kita lihat sikap yang diambil keduanya sama-sama beralasan, dan alasan satu sama lain tepat dan tidak perlu dibantah. Karena alasan yang mereka utarakan sama-sama memiliki "isi". Kedua orang ini dalam mengambil tindakan tidak merupakan tindakan yang bersifat politis demi dongkrakan politik. Karena satu sama lain punya prinsip dan dasar dalam mengambil tindakannya. Relevansi dengan judul diatas, Jokowi, kebijakannya dapat dianalogikan sebagai Rangka yang berisi. Ia melakukan tindakan yang punya sebab jelas kenapa tindakan dan kebijakan itu diambil, bahkan rasanya kebijakannya tak bisa di cela karena tepat dengan keadaan sekarang. Begitu pula dengan Ahok, sudah jadi kebiasaan bukan, para pejabat di fasilitasi sedemikian baik, dari rumah tinggal, sarana kerja, kendaraan, hinggan ada tunjangan pakaian. Tetapi Ahok memanfaatkan segala fasilitas untuk pejabat ini dengan sangat tepat sasaran, menggunakannya untuk kerja sebaik mungkin demi kepentingan rakyat. Ahok saya lihat adalah tipe orang yang memang apa adanya, jika ia tidak butuh tanpa mengurangi efisiensi kerjanya, ia tak akan pakai fasilitasnya. Contohnya, rumah dinasnya yang di tolak karena ia punya rumah sendiri di Jakarta. Ya, ia memahami dengan jelas kenapa ada fasilitas untuk pejabat dan dari mana datangnya. Fasilitas yang diberikan padanya digunakan sebaik-baiknya untuk megembalikan pada pemiliknya, rakyat. Jelaslah kedua sosok ini tindakannya merupakan tindakan yang berisi, mengerti sebab, dan dasar dalam mengambil tindakan. Bahasa keilmuannya, substansiil. Rangka yang Berisi.

Minggu, 05 Januari 2014

Idealisme itu terlalu utopis?

Seorang teman, belum lama iseng buka-buka folder gambar di handphone saya. Muncul foto ini :
Ibrahim Datuk Tan Malaka. Tokoh yang namanya tak banyak di dengar anak muda sekarang. Dari puluhan bahkan ratusan pendiri bangsa, nama Tan Malaka mungkin hanya nyempil di urutan ke sekian ratus.  Padahal dia punya gagasan-gagasan besar yang siap melambungkan Negaranya, yang entah kenapa, apa istimewanya, begitu besar dia perjuangkan hingga mengelana keliling dunia dengan puluhan nama samaran yang entah mengantarkannya pada apa. Mati di cap pengkhianat dengan partainya kala itu Murba. Ya, politik, tarik ulur, sedikit senggolan lah yang mengantarkan peluru bersarang pada bung "tak terlihat" ini di ujung akhir nafasnya. Bung "tak terlihat", jasanya sama besar, apa yang diberikan sama besar dengan banyak bung-bung lain yang kita kenal di bumi kita ini. Tapi, Bung yang satu ini seolah pengabdiannya lenyap ditelan negaranya sendiri yang diperjuangkan sedemikian rupa. Tak akan saya ceritakan detil tentang beliau, perjuangannya dan kisahnya, namun bila berminat coba baca buku seri yang dikeluarkan Majalah Tempo pada seri Bapak Bangsa, "Tan Malaka: Bapak Republik yang Dilupakan". Tentang beliau ini hanya menjadi pengantar menuju pokok pembahasan saya kali ini.

Kembali ke teman saya, Ia lalu bertanya,
"apa maksudnya gambar ini? Kenapa lu simpen?"

"Karena dia unseen but real"

Unseen but real seolah menjadi kalimat kesukaan saya mengenai suatu perjuangan yang hakiki, tak terlihat tapi nyata, tak dapat di rasakan tapi dapat ditangkap logika. Bahkan itu adalah salah satu bentuk pancasila yang abstrak-umum.

Namun, saya mencoba berpikir kembali, apakah unseen but real ini tepat dalam mencapai apa yang kita perjuangkan hari ini? Dua tokoh idealis kesukaan saya, Soe-Hok Gie dan Tan Malaka, keduanya para Unseen but real-er sejati. Berlari tanpa terlihat, tapi berlari, mendobrak tanpa terlihat, tapi mendobrak. Itu mereka. Perjuangan mereka menurut saya sangat-sangat patut di puji. Menjaga nilai tanpa pamrih yang sangat tinggi. Namun, saya pun tak mengerti apa yang sejatinya mereka cita-citakan? Apakah yang mereka cita-citakan itu terlalu normatif hingga sulit nalar dan praktek untuk menggapainya? Karena kerasnya perjuangan mereka tak pernah terkristalkan menjadi sistem kehidupan yang dirasakan secara umum bagi masyarakat. Dobrakan para unseen-er ini cenderung mengena sasaran lalu hancur menjadi abu yang lalu di hirup individu-individu untuk menyetujui gagasan mereka. Namun, gagasan mereka tak pernah menjadi gagasan universal, gagasan masyarakat, untuk menjadi cita-cita bersama. Ya, pemikiran dan gagasan mereka hidup di hati dan akal para pengagumnya saja, namun tak pernah di bawa ke ranah praktis untuk di buatnya menjadi kenyataan. Perjuangan mereka tak pernah sia-sia, tetapi lenyap tak bertuan, setelah lantang suara parau mereka yang biasa di lagukan lewat pena tak lagi menulis kata-kata. Tan Malaka pernah berucap.

"dari dalam kubur suaraku akan lebih lantang" kurang lebih begitu.

Namun, saya belum menemuka ke lantangan suaranya hari ini. Karena, tak ada yang berubah dari dunia ini. Jauh dari normatif. Jauh dari angan-angan. Jangan-jangan cita-cita mereka saja yang terlalu utopis? Terlalu elok untuk di praktekan? Karena, seperti kata Gie, Kebenaran hanya ada di langit. Mungkin, Pancasila, yang fungsi dan kedudukannya sebagai pandangan hidup bangsa, ideologi, juga dasar Negara itu dibuat terlalu tinggi bagi Indonesia oleh bung karno dan kawan-kawan. Disebut pandangan hidup bangsa, namun kita sendiri seolah tak pernah menemukan titik dimana kita harus memandang, Pancasila juga terlalu utopis?

Saya sampai pada konklusi yang menjemukan dan menyedihkan, apakah dunia yang diidam-idamkan banyak orang yang santun bersahabat dan bahagia seperti cerita-cerita dongeng masa kecil tentang kerajaan yang tentram hanya akan selalu menjadi cerita yang tak bisa kita bawa ke dunia nyata ini? Munkin, dunia terlalu fana, terlalu singkat untuk membuat kisah tadi jadi nyata.
Tuhan menggenggam mimpi orang yang berusaha, dan dunia ini bukan hanya milik saya, Gie, atau Tan Malaka, atau idealis-idealis lain, tapi milik berapa juta pemimpi lainnya yang harusnya mampu merealisasikan mimpi ini pula. Tampaknya menjadi unseen-er meski real tak lagi tepat, para real-man harus lebih seen untuk menjadi corong, mercusuar, tonggak peradaban yang bahagia dan kita impikan. Semoga, kita semua, termasuk saya, diberi kesempatan menjadi motor penggerak menuju peradaban yang bahagia.

Jumat, 03 Januari 2014

Mencari yang Hakiki (2)

Di tempat baru saya ini,  saya mengikuti kegiatan sesuai nurani saya. Karena di lingkungan baru ini, Mahasiswa memanggul kemana-mana Idealisme. Sering saya menemukan pekik-pekik perlawanan mereka terhadap entah apa yang mereka lawan di sisi-sisi kampus. Saya pun tak tahu mereka berdiri dimana dan melawan siapa. Bagi saya teriakan mereka itu banyak omong kosongnya. Semangat mereka seolah tanpa mengkaji dari semua sisi sebelum mereka bisa berteriak. Kurang, atau belum dewasa mungkin. Di wahana yang bagi saya begitu non-sense ini saya pun mengikuti apa yang menarik hati saya, kegiatan sosial. Saya ikut komunitas kecil-kecilan yang kegiatannya mengajar anak-anak saban malam minggu. Dan sekali waktu saya malu ketika salah seorang yang saya ajar, siswi SMA yang banyak anak sekarang bakal bilang dia alay atau semacamnya, rupanya seorang guru ngaji di desanya. Ketika ditanya sudah berapa kali khatam, saya hanya bisa menjawab dengan rasa malu, belum pernah.

Di tempat ini saya melihat kawan-kawan baru yang menggugah hati saya untuk kembali menyentuh agama. Mereka tampak hidup dengan kebersahajaan, ketenangan mereka sendiri dengan doa-doa dan ibadah mereka. Tak peduli sorak sorai gemerlap mahasiswa lain yang tampak memiliki segalanya. Dan saya rasa yang macam itulah idealisme sejati.

Di hati kecil saya ini rupanya masih ada keinginan mencari 'sesuatu' yang bisa digenggam, bisa di lakukan orang-orang demi agamanya. Saya yang mulanya mencari hobi dengan nonton film-film barat di laptop, mulai jenuh. Sebagai mahasiswa yang tak banyak tugas dan kegiatan, saya cari hobi lain. Dan hari itu saya pergi ke sebuah toko buku, iseng mencari pembunuh waktu yang paling sesuai bagi saya.

Dari rak politik yang saya gemari, saya bergeser ke rak biografi yang biasanya membuat tangan saya gatal untuk membacanya, namun dua tipe buku ini tak menggoda saya. Lanjut, novel anak remaja, cinta-cintaan, rasanya terlalu ringan, tidak membuat saya berpikir. Novel sastra dan filosofi saya baca beberapa dan pusing kepala dibuatnya, Buku macam itu , tak betah saya membacanya. Saya putar-putar toko buku dan melihat-lihat buku best seller, belum ada yang menarik saya ke kasir untuk membelinya. Buku agama, saya punya banyak di kos. Banyak pula yang belum selesai. Buku apa? Saya buka handphone saya yang ternyata di dalamnya tersimpan catatan beberapa judul buku, dan saya ingat buku ini yang akan saya beli. Buku tentang perjalanan seseorang keliling Eropa. Entah kenapa saya selalu tertarik dengan hal berbau negara lain. Dan kebetulan novel tadi bicara tentang Islam juga. Saya beli.

Di kos, saya baca beberapa lembar awal, sampai 5 halaman, tutup. 5 halaman tutup. Begitu sampai suatu hari saya libur dan baca agak lama. Rupanya novel memang sulit untuk di tutup setelah menjelang setengah novel, isinya makin seru dan akhirnya saya selesai membaca. Novel inlah yang memberi saya sebuah konklusi yang secara sederhana memberi efek besar pada saya, kesadaran saya. Bahwa agama yang dari lahir disematkan pada saya, yang bertahun-tahun saya belajar teorinya, rupanya tak sekedar teori saja. Tetapi pada agama Islam yang selama ini saya jalani sebagai tugas semata punya nilai lebih yang membuat saya ingin betul-betul memperdalamnya. Islam menawarkan kedamaian, juga perdamaian. Sederhana, tapi entah mengapa membuat saya cukup tertarik untuk tau lebih dalam. Saya jadi ingat, banyak orang barat tak beragama. Mereka keliling dunia mencari sesuatu yang di dunianya mereka tidak tahu. Rata-rata mereka menemukan sesuatu ketika di Asia, kedamaian dalam agama. Dan itulah yang saya sadari dari novel ini.

Kedamaian yang seperti apa? Tenang, tiba-tiba rasanya tenang, ketika kita berkeluh kesah lebih banyak pada Tuhan dibanding pada kawan yang selama ini getol saya lakoni. Karena ketika kita 'berbicara' pada Tuhan, terselip suatu keyakinan yang akan dan harus kita pegang. "kita akan dapat yang terbaik apapun hasilnya". Tidak asing bukan? Tapi memahaminya yang sulit. saya jadi berpegang pada adagium yang sudah lama terkenal "everything happens for a reason" dan "reason" yang sesungguhnya itu datang dari Tuhan, karena yang turun pasti yang terbaik, atau ada sesuatu dibaliknya. Saya jadi begitu percaya tentang "His Invisible hand", semua ada yang mengatur. Lama saya tahu itu, tapi baru saya pegang sekarang. Dan dengan keyakinan-keyakinan itu saya pun menjadi lebih tenang menjalani sesuatu karena yakin apa yang kita sedang jalani kalau dengan ridhoNya akan menjadi yang terbaik buat kita.

Satu hal yang membuat saya ingin menulis tentang ini, tempo hari saya sedang melihat-lihat Facebook. Dan di Timeline saya melihat ada sebuah akun yang menarik saya untuk masuk. Bau-bau agama. Saya masuk, baca beberapa artikel lalu saya baca beberapa komentar. Dan tampaknya ada hal yang begitu menjadi ironi bagi saya. Ada salah seorang yang komentarnya menjadi bumerang bagi dia dan Agamanya. Ia Islam, dan komentar yang dilontarkan mengkomentari seseorang diatasnya yang memang statementnya menentang isi artikel tentang agama ini. Tampaknya dari nama dia seorang non-muslim, Dan si Muslim ini menjawabnya dengan ucapan-ucapan kasar yang tidak pantas dan mencederai nama Islam yang sejati. Islam yang menawarkan kebaikan dan perdamaian.

Pada salah satu buku yang sedang saya baca tentang panglima Islam yang menaklukan suatu wilayah yang dijanjikan Rasulullah, ada suatu etika yang diajarkan Rasulullah, saya lupa bagaimana kata-katanya, tapi intinya, menyeranglah ketika lawanmu menyerang, Jangan menyerang jika tidak ada apapun yang menyerangmu. Betapa Islam sebenarnya agama yang menjanjikan perdamaian di dalamnya. Menjanjikan perdamaian sebagai sesuatu yang hakiki menurut saya. Bahkan dalam novel tentang penjelajahan Eropa yang saya baca tadi, di gambarkan ketika Islam di cemooh orang barat, dan dijawab dengan tenang dan hangat oleh si muslim, orang barat ini jadi ingin tahu lebih soal Islam. Tertanam, Menjadi agen muslim yang baik : dengan perdamaian, sopan santun, dan kehangatan.

Ironis rasanya melihat banyak orang yang menurut saya pengetahuannya tentang Islam jauh diatas saya justru menampakkan Islam dengan wajah antagonis yang tanpa kelembutan melarang sesuatu bahkan dengan paksa. Tidak hanya soal kaum-kaum yang salah mengartikan jihad, tapi juga terjadi dalam kehidupan sehari-hari, kawan kita yang kadang bertindak sebagai polisi syariat bagi orang di sekelilingnya yang kadang melarang sesuatu dengan paksaan, bukan pemahaman, kelembutan dan perdamaian. Saya sendiri belum bisa menjadi agen muslim dengan kelembutan, saya masih banyak belajar. Namun, saya cukup menyayangkan mereka-mereka yang kemana-mana dengan label muslim yang jelas pada tubuhnya (yang tidak seperti saya yang seringkali disangka beragama selain islam), justru sering menampilkan wajah garang tentang Islam, yang membuat islam diartikan lain oleh orang lain, malah ada oknum dengan Nama besar Islam (di Negeri ini dan di lingkungan saya) yang sering saya dengar cerita justru hadir dengan ambisi-ambisi yang memuakkan. Hal inilah yang justru bagi saya jadi kulit agama Islam yang bisa dilihat banyak orang negeri ini. Pandangan orang Eropa, Konstantinopel, pada pasukan muslim di tahun 1400-an tampaknya sesuai dengan keadaan muslimnya sendiri hari ini, Pasukan Muslim, yang kejam dan penuh ambisi.

Padahal, didalamnya Islam itu hadir dengan persahabatan, dengan pesan membawa kebaikan dan kebenaran, Itu menurut kacamata saya. Dan menjadi pesan penting bagi kita semua untuk memahami segala sesuatunya secara esensial, secara substansial, bukan terbatas pada kulit luarnya saja, terbatas pada tradisi, juga kebiasaan.

Kamis, 02 Januari 2014

Mencari yang hakiki (1)

Saya terlahir muslim, sekitar 19 tahun lalu. Sebelum berkenalan dengan taman kanak-kanak, rasanya orang tua saya mengajak saya lebih dulu untuk mengenal agama saya, Islam, di Masjid tidak jauh dari rumah. Dan secara kontinyu saua belajar mengaji dan agama di masjid tersebut hingga masuk SD. TK dan SD saya pun keduanya institusi islam yang cukup baik di kota saya. Di SD ini saya mendapat  bekal agama yang begitu banyak. Usia 10 tahun, saya pindah kota, ikut ayah bekerja. Kali ini SD saya SD Negeri, pengajaran agama tak sebanyak di SD saya sebelumnya. Maka di luar sekolah saya  ikut bimbingan agama di masjid dekat rumah. Berlanjut ke bimbingan privat hingga saya SMA.

Cukup saya sadari di SD kedua saya, saya mulai berinteraksi dengan beragam kawan, jauh lebih beragam dari kawan saya di kota lama yang rata-rata berlatarbelakang sama. Bahkan disana tidak ada yang non-muslim. Ketika di SD baru, saya banyak bersinggungan dengan hal baru yang berwarna, positif dan negatif. Saya mulai ikut-ikutan. Seingat saya positif dan negatif berjalan beriringan. Meski hingga SMA saya tetap mendapat bimbingan agama, tidak dapat dipungkiri saya masih sering berjabat tangan dengan banyak hal yang dilarang agama. Ya dosa-dosa anak seusia saya ketika itu mungkin. Hari itu saya merasa, Ibadah, dan hal-hal berbau agama lainnya wajib saya lakukan sebagai penggugur kewajiban saja. Tanpa mendalami maknanya.

Di penghujung SMA, saya banyak sekali berdoa, banyak sekali beribadah. Ibadah yang sering saya abaikan di hari biasa, saya lakukan saat itu. Tujuannya satu : Masuk PTN favorit dengan jurusan pilihan saya. Belajar saya ikuti, Sampai malam, begadang-begadang, kala itu teman-teman saya juga begitu. Jadi, kalau saya tidak ikut begitu saya merasa kalah. Waktu itu keyakinan saya lebih ke "kalau kita berdoa dan berusaha pasti dikabulkan". Rupanya setelah pengumuman penerimaan, saya gagal masuk jurusan di universitas yang saya mau. Dan dalam sebulan saya ditolak lima universitas negeri lainnya. Saya lalu lupa pada Tuhan, lupa segalanya. Saya malas beribadah, berdoa enggan, apalagi ibadah-ibadah yang tidak wajib yang jadi kebiasaan ketika menjelang tes. Saya merasa doa saya sia-sia.

 Dan lalu saya meneruskan ke PTS yang boleh dibilang bagus untuk jurusan yang saya masuki. Disini PTS saya adalah institusi agama non muslim. Kawan-kawan saya pun boleh dibilang orang-orang berpikiran liberal. Praktis saya tidak dapat bimbingan agama Islam. Apalagi saya di kota yang jauh dari orangtua. Saya jarang sholat wajib, berkelakuan jauh dari auran agama. Tapi, Nilai saya memuaskan. Saya jadi berpikir, tanpa doa, saya bisa kalau berusaha. Ditambah ajaran-ajaran filsafat yang meneguhkan hati saya, Agama hanyan bentuk perwujudan sesembahan dari manusia, semua manusia pasti menyembah sesuatu, meminta sesuatu pada suatu entitas tertentu yang ada tidaknya pun kita tidak tahu. Di luar nalar, membantah logika. jadi Tuhan dan yang kita sembah itu hanya kecenderungan manusia yang logis. Bukan karena ada Tuhan yang menciptakan. Saya hampir Atheis saat itu.

Tiba-tiba saya sakit, pulang ke rumah orangtua saya, dan cukup lama saya pulih. Saya tertinggal materi kuliah. Dan akhirnya cuti. Berbagai alasan, orangtua saya menyarankan saya tes masuk Universitas lain di kota asal orangtua saya. Kali ini bebas jurusan pilihan saya, karena kalau diingat, jurusan yang saya pilih ketika SMA itu adalah permintaan orangtua saya yang sebenarnya bukan kesukaan saya.

Setelah semua Tes diikuti, akhirnya saya masuk ke PTN keinginan saya dari kecil. Tapi, di jurusan yang berbeda dengan yang saya mau di SMA. Saya merasa jurusan ini memang yang terbaik. Di tempat baru inilah, saya mulai sering berdiskusi dengan kawan saya tentang agama Islam, Kawan saya ini memahami seberapa jatuhnya iman saya di tempat lama saya. Ia menyodorkan beberapa video ceramah yang menyarankan untuk bertaubat. Cukup membuat saya takut, tapi lalu saya lupa dengan ketakutan saya itu. Namun, ajakan teman saya itu membuat saya sedikit lebih banyak beribadah, dan mulai melangkahkan kaki ke masjid. Meskipun tidak rutin karena saya masih cenderung memahami ibadah saya sebagai penggugur dari kewajiban. Kalau saya tidak melakukan saya akan dihukum Tuhan. Baik, di dunia maupun akhirat. Ibadah saya sekadar formalitas, mengikuti prosedur saja. Bersambung