About my Blog

But I must explain to you how all this mistaken idea of denouncing pleasure and praising pain was born and I will give you a complete account of the system, and expound the actual teachings of the great explorer of the truth, the master-builder of human happiness. No one rejects, dislikes, or avoids pleasure itself, because it is pleasure, but because those who do not know how to pursue pleasure rationally encounter consequences that are extremely painful. Nor again is there anyone who loves or pursues or desires to obtain pain

Selasa, 22 Juli 2014

Semoga

Halo.. Saya ini memang terlampau pengecut untuk hal-hal begini. Cuma berani tulis di Blog yang ga ada yang baca, dan semoga tidak terbaca sama dia ya.

Mungkin kamu pikir saya ini sudah jadi orang sombong terlampau sombong. Sekedar tulis pesan "Aku pulang nih" saja tidak mau. Sombong ya? 

Tidak pernah lagi kasih kabar, via telepon, via sms, bbm, line, segala media sosial lainnya. Sebanyak itu yang saya punya tapi ga ada yang saya pakai buat hubungin kamu. Sombong ya?

Kalau pulang bukan 'ngabarin justru pergi sama teman dan ketauan karena update-an teman di sosial media yang kalian punya dan saya tidak. Sombong ya?

Saya sombong banget kali, makan-makan sama teman sampai mana-mana dijabanin, sama kamu makan sekali pun engga. Kasih kabar aja engga. Sombong pasti.

Ya gapapa anggaplah saya ini memang sudah sombong dan terlampau sombong untuk sekedar hubungin kamu. Biar kamu juga enggan ketemu saya. Biar kamu ga denger lagi janji-janji yang belum tentu bisa saya tepati. Biar kamu ga lebih sakit hati lagi nantinya kalo janji yang terlanjur terucap itu ga bisa saya tepati.

Anggaplah saya sombong biar kamu jadi lebih baik. Saya cuma pengen kamu baik-baik saja

Semoga kalau waktunya tiba dan memang sudah dituliskanNya, benci itu hilang, anggapan saya yang sombong hilang. 

Kalau memang waktunya tiba dan memang sudah dituliskanNya semoga bumi pun berkonspirasi biar kita betul-betul ketemu, dan semoga kita baik-baik saja nantinya.

dan terakhir, semoga waktu itu memang bakal tiba, dan memang kita ini sudah dituliskan olehNya untuk bisa hidup yang sebaik-baiknya. Semoga.

Melawan Hari Ini

Sejak duduk di bangku sekolah dasar (SD), saya akrab dengan berbagai macam buku. Dan saya ingat betul, ketika kelas 1 SD buku kegemaran saya adalah buku "100 Pahlawan Indonesia". Waktu itu saya mengidentifikasikan diri saya sebagai orang yang suka sejarah. Kegemaran tentang kisah orang-orang besar terus berlanjut. Kelas 4 SD saya membeli buku berjudul "In Memoriam: Mengenang yang Wafat". Memoar karya Rosihan Anwar berisi kenangan perkenalannya dengan 77 tokoh-tokoh besar Indonesia. Banyak isinya adalah kisah-kisah berupa Human Interest, membuat saya masih suka membolak-balik buku itu hingga sekarang. Kelas 6 SD pertama kalinya saya kenal Soe Hok Gie. Tokoh idealis kesukaan saya yang saya tahu lewat film yang tidak ibu saya izinkan untuk menontonnya. Saya mengenal Gie ketika itu sebagai orang yang luar biasa hebat. Tidak pamrih, dan teguh pendirian. Gie pun menghapuskan Soekarno sebagai tokoh idola saya ketika itu.

Masa SD-SMP inilah saya menjejali kepala saya dengan buku-buku yang belum usia saya membacanya. Ibu saya sampai menyuruh saya beli komik agar tidak stress. Ayah saya mulai mensensor buku yang saya beli. Minat saya untuk memahami perlawanan sosialis dan komunis meledak-ledak masa-masa itu. Saya mengenal perlawanan sebagai kunci dari penindasan. Saya menganggap perlawanan sebagai senjata pamungkas dari ketidakadilan di dunia ini. Itu deskripsi saya tentang perlawanan hingga saya kuliah.

Di bangku SMA saya ejawantahkan pemahaman saya tentang perlawanan dengan bergabung dalam organisasi sekolah yang memang senafas dengan pikiran saya. Majelis Perwakilan Kelas. Saya justru tidak merasa sebagai panglima perlawanan yang memanggul cita-cita teman-teman SMA saya, seperti yang saya impikan. Saya terlalu sibuk dengan program kerja dan mengurusi penyakit internal organisasi SMA itu. Saya merasa kurang cukup melawan dengan organisasi itu. Tapi mental melawan saya kental bukan main, guru yang menurut saya meleng, dan tidak pantas saya kritik setengah mati kalau perlu saya bicara dengannya di ruang guru, di ruang kerjanya. Saya anti diatur-atur seenaknya. Saya mengaggap perlawanan adalah revolusi ketika itu.

Ketika kuliah di Bandung, saya mulai bertemu dengan seorang teman. Dia semacam perindu kehadiran komunis di mata saya. Saya senang bicara dengannya ketika dia tahu banyak soal sejarah, dan sedikit-sedikit sepaham dengan konteks perjuangan ala komunis dan sosialis. Saya diajak long march waktu itu. Isinya menolak korupsi. Sampai bolos kelas. Saya ikut, berteriak-teriak, dari depan kampus saya di Jalan Ciumbuleuit sampai Dago. Umpatan-umpatan untuk koruptor mengalir hari itu. Tapi saya tidak lega, tidak merasakan jawaban. Saya sadar, bukan itu cara melawan.

Saya jadi skeptis dengan perlawanan sejak saat itu. Hidup saya diisi kuliah, belajar, dan senang-senang. Lupa baca buku sejarah. Lupa kegemaran saya, lupa melawan. Hidup saya terlalu indah saat itu, lupa dengan perlawanan dan perjuangan orang-orang yang mengais nasi di sekeliling.

Tahun berikutnya saya pindah kuliah ke Jogja. Di tempat baru saya ini justru yang tidak melawan dianggap pengkhianat. Suasana perjuangan yang saya rindukan di masa sekolah sebenarnya saya temukan di tempat ini. Tapi saya terlanjur skeptis dan tidak mau tahu. Di masa pengenalan kampus pun kami diajari untuk "aksi". Teriak-teriak, nyanyi-nyayi, dengar orasi, lalu mengepalkan tangan dengan gegap gempita semangat ala pejuang '45. Saya merasa bodoh ketika melawan seperti itu. Cuma buat lelah saja. Buat dosa saja. Belum tentu umpatan-umpatan saya di dengar yang saya umpat dan memberi pengaruh baik. Saya ada di tahap, membenci demonstrasi, membenci aksi turun ke Jalan.

Nafsu melawan itu masih ada, maka saya bergabung dengan kegiatan pers kampus yang saya rasa senafas dengan saya. Mereka punya semboyan-semboyan yang menjadi landasan saya ikut, hanya karena senada. Tapi, hobi saya menulis rasanya entah mengapa kurang mengalir di dalam kegiatan ini. Malah saya sudah merasa kurang sepaham lagi, dan cukup prinsipil, ada baiknya saya undur diri dan cari cara lain buat meredam nafsu saya yang satu ini.

Masa kuliah di Jogja ini saya isi dengan banyak baca buku yang sifatnya membangun diri, buku psikologi, buku agama. Saya mulai kehilangan kemauan melawan. Karena saya merasa masa-masa ini bukan lagi masanya melawan. Apa yang perlu dilawan? Kesewenang-wenangan? Ketidakadilan? Hal-hal yang sejak dulu ingin sekali saya lawan. Tapi, tampaknya menemukan cara melawan yang sejati yang ideal belum saya temukan. Mau berkoar-koar sampai depan kamar presiden di istana negara saya tidak melihat kemungkinan teriakan saya akan merubah penyakit Indonesia yang terlalu kronis ini.

Cara itu, untuk diri saya tidak cocok, sudah lapuk, itu cocok tahun 1960'an. Tahun 1998 dulu aksi-aksi itu berhasil. Entah apa sebabnya tapi memang kondisi saat itu membutuhkan aksi besar seperti tahun-tahun itu. Aktivis pada masa tu berhasil dengan perjuangan dengan cara yang masih di adaptasi hari ini.

Seiring bertambahnya usia saya berharap semakin dewasa, dan nafsu melawan saya yang bukan main membludaknya dulu rupanya bisa saya atasi sedikit-sedikit. Saya mulai menemukan perlawanan yang cocok bagi diri saya yang saya rasa cocok dengan kondisi saat ini.

Kondisi dengan banyak masalah saat ini, akan semakin bermasalah ketika perlawanan yang kita lakukan tidak tepat. Perlawanan dengan cara aksi turun ke jalan bukan berarti buruk. Tapi, menurut saya aksi itu banyak mudharatnya, menganggu orang di sekitar, sedikit banyak mengganggu ketertiban, mengganggu keamanan, banyak mengganggunya di banding dicapainya cita-cita yang ada. Kadang resolusi ditawarkan dalam aksi turun kejalan, namun ya aksi tadi tetap banyak mudharatnya dan belum tentu resolusi ini diterima sasaran aksi. Aksi yang membakar semangat tadi juga kadang ada orang yang ikut terbakar emosinya hingga bakar-bakar ban dan parahnya kalau sudah bakar fasilitas umum. Banyak mudharatnya.

Melawan menurut saya? Seperti tujuan yang pernah saya dengar dari kegiatan perkumpulan mahasiswa muslim di kampus saya, menebarkan oase-oase kebaikan di tengah gersangnya kampus kami. Kurang lebih seperti itu. Ya menurut saya itu, perlawanan jangka panjang untuk perbaikan negeri ini apalagi kalau bukan menjadikan diri kita lebih baik untuk memperbaiki negeri ini. Perbaikan untuk penyakit disekitar kita apalagi kalau bukan turun langsung dengan tangan kita mengobati penyakit di sekitar kita dengan kegiatan sosial. Banyak sekarang gerakan yang memfasilitasi gagasan-gagasan kreatif untuk menggelar kegiatan sosial. Baik pendidikan, kesehatan, atau bantuan kehidupan sehari-hari orang yang membutuhkan. Perlawanan macam inilah perlawanan yang sekali lagi, menurut pandangan saya paling kompatibel dengan kondisi negara kita saat ini. Bukan lagi aksi protes turun ke jalan.

Meragukan Suara Rakyat

Tulisan ini bukanlah sebuah tulisan keilmuan yang dirangkai dengan data dan analisa dalam menemukan sebuah konklusi. Tulisan ini lebih merupakan rangkaian pertanyaan dengan kegelisahan di dalamnya yang belum saya temukan jawabannya.

Belum lama saya membaca sebuah petisi yang menuntut di revisinya UUMD3. Saya belum membacanya lebih dalam, UUMD3 itu sendiri serta poin apa saja yang sebenarnya hendak di revisi dalam UU tersebut. UU MD3 sendiri sebatas pengetahuan saya adalah Undang-undang yang mengatur mengenai MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Saya disini bukan mau menguji serta mengkaji ada apa di dalam undang-undang tersebut. Ada poin penting apa di dalamnya. Saya mencoba mengkaji kegelisahan lain yang terkandung dari tuntutan merevisi Undang-undang tersebut.

Saya adalah mahasiswa Tahun pertama yang sedang menunggu masuknya tahun kedua kuliah saya di Fakultas Hukum. Bersinggungan dengan hal-hal yang saya sedikit paparkan di atas merupakan hal yang biasa bagi saya. Namun, saya kurang memiliki minat dalam mengkaji hal-hal seperti yang telah dipaparkan diatas. Saya ingin mempertanyakan dari kacamata kehidupan sosial masyarakat Indonesia.

UUMD3, serta UU-UU lain di Indonesia dibuat oleh Legislatif bersama dengan Presiden. Mencoba menelaah hakikatnya secara otodidak, cara perumusan undang-undang macam itu merupakan langkah yang saya rasa matang. Pada dasarnya, dalam merangkai atau membentuk Undang-undang tersebut Legislatif yang punya makna pembuat aturan tidak membuatnya dari satu sisi saja tapi mendiskusikannya pula dengan presiden sebagai pemilik kekuasaan eksekutif atau pelaksana dari aturan yang telah dibuat di Indonesia. Secara hakiki pembentukan undang-undang ini menurut saya menjalankan proses check and balances yang tepat dimana lembaga kekuasaan masing-masing memiliki andil untuk menghasilkan hingga pelaksanaannya yang berarti termasuk pada pengawasannya. Ya, artinya undang-undang ini memang merupakan aturan yang telah ditimbang-timbang kehadirannya secara matang dari ratusan kacamata orang yang berkecimpung di dalamnya untuk menyusun, menjalankan hingga menegakkannya.

Sebagai mahasiswa Fakultas Hukum, Undang-undang sudah menjadi semacam kitab acuan kedua setelah Al-Qur'an. Sehari-hari dalam mata kuliah yang telah saya ambil pada dasarnya menerangkan aturan-aturan yang ada dalam bagian hukum tersebut. Misalnya Hukum Pidana, kitabnya Kitab Undang-undang Hukum Pidana; Hukum Perdata, Kitab Undang-undang Hukum Perdata; Hukum Tata Negara, UUDNRI tahun 1945, dan mata kuliah lain dengan pola yang sama. Semua yang kami pelajari bersumber dari rangkain aturan yang kami tekuni betul makna di dalamnya. 

Semakin hari saya mempelajari Ilmu Hukum saya mulai membuka lembaran-lebaran peraturan perundang-undangan yang di gunakan di Indonesia. Dan selama saya mencoba menelaah aturan-aturan tersebut yang kami jadikan betul acuan kami temukan pula kekurangan-kekurangan dalam aturan tersebut yang menyebabkannya menjadi mengambang untuk suatu hal dalam aturan tersebut, dan saya sebagai mahasiswa yang masih tergolong baru mempelajari Ilmu Hukum pun bertanya-tanya, bagaimana pelaksanaan akan suatu hal yang dituntun dalam suatu aturan tertentu namun ada hal yang tidak diatur di dalamnya? Bagaimana kelanjutannya?

Sebagai contoh, belum lama ini saya mempelajar Undang-undang Republik Indonesia Nomor 21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Karena saya mencoba mengkaji apa yang ada di dalamnya saya mencari pula permasalahan yang dihadapi para pelaksana atau para pelaku kegiatan yang berkaitan dengan yang diatur dalam UU OJK ini. Dalam salah satu permasalahan yang dihadapi dengan hadirnya OJK dalam kegiatan perekonomian di Indonesia, terdapat masalah yang disebabkan tak diaturnya suatu hal dalam UU OJK ini. Yaitu, ketiadaan aturan atau cetak biru arah perkembangan perbankan syariah di dalamnya. Yang artinya pelaksanaan kewenangan OJK mengenai arah pengembangan Bank Syariah ini tidak rinci dijelaskan. Padahal, Bank Syariah termasuk dalam penjelasan apa itu perbankan yang diatur dalam Undang-undang tersebut yang artinya Bank Syariah pengawasannya menjadi kompetensi dari OJK sendiri. Pertanyaan tentang hal itu, lalu bagaimana OJK sebagai pemegan kompetensi pengawasan Bank Syariah mengambil kebijakannya untuk melaksanakan kompetensinya tersebut? Tidakkah kekosongan ini membuat OJK jadi tidak ada tuntunan, seperti misal, kita diperintahkan berpuasa tapi tidak dijelaskan mulai dan sampai kapannya?

Ya terlepas dari itu semua, memang dalam Ilmu Hukum dikenal penafsiran hukum yang setahu saya memang berguna untuk mengantisipasi kekosongan-kekosongan macam tadi. Ada pula mekanisme untuk menguji materil suati perundang-undangan. Namun, yang membuat saya bertanya-tanya ialah, wajarkah tuntunan bagi pelaksanaan suatu hal memiliki kekosongan didalamnya? Apakah memang kekosongan itu merupakan suatu hal yang lazim ada dan akan ada dalam suatu aturan?

Sebagai orang awam hukum yang tiba-tiba kuliah di Fakultas Hukum, saya tiba-tiba pula menyadari bahwa Undang-undang dan peraturan lain dalam hierarkinya merupakan rujukan segala pertanyaan, acuan dari segala keraguan dalam setiap pelaksanaan. Boleh jadi saya sedikit mengagungkan kehadiran suatu peraturan sebagai tuntunan. Namun, menyadari ketika aturan ini ternyata ada "lubangnya"ada "cacatnya" ada kekecewaan yang terbersit dalam diri saya. Bagaimana mungkin tuntunan, aturan tapi berlubang-lubang? Tidakkah ini seperti perintah Sholat tapi tidak diberitahu bagaimana bacaan sholat, bagaimana sujud itu?

Kalau kita sedikit-sedikit mengurai pertanyaan saya tadi, Undang-undang dibuat oleh pemegang kekuasaan legislatif bersama-sama dengan presiden, pemegang kekuasaan eksekutif. Legislatif, pembuat hukum, atau pembuat peraturan begitu ideal, ketika didalamnya merupakan perwakilan rakyat. Seolah-olah rakyat memang punya andil dalam menyusun suatu aturan untuk dipatuhi. Ideal sekali. Senafaslah hal ini dengan sistem pemerintahan demokrasi menurut Abraham Lincoln, Dari Rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Namun, masihkah itu ideal ketika aturan tersebut mengandung lubang-lubang didalamnya? Apakah rakyat di Indonesia saja yang belum siap dengan konsepsi agung tersebut? Atau pemegang suara rakyat di Indonesialah yang tidak sanggup dan belum pantas menggelar kehidupan yang indah dengan sendi demokrasi?




Senin, 21 Juli 2014

Balada si corong angkuh

corong yang satu ini bukan corong-corong lain. Corong yang satu ini mulanya tampak kokoh. Di dorong sekuat tenaga pun kelihatannya percuma, ia tak akan bergeming barang sesenti pun. Corong yang satu ini kukira lantang bukan kepalang. Teriak tak pandang bulu, yang meleng sedikit kena tempeleng. Corong ini kukira jadi jawaban yang hakiki dari gelisahnya umat manusia di bumi. Si corong yang kokoh, lantang, dan berani tiada terkira. Mau digonggongi ratusan bahkan ribuan anjing, si corong ini ya bakal seperti ia adanya. Lantang menerjang, apapun dihadang. Corong ini kuanggap seperti nabi yang luar biasa tegar, lurus pada jalan yang diyakininya. Namun, ya hanya kuanggap, hanya kukira.

Belum juga bumi sampai lagi habis mengelilingi matahari, mulai tampak aslinya corong kokoh ini. Si corong yang kuanggap jawabann dari semua pertanyaan ini sedikit-sedikit mulai nampak belangnya. Si Corong lantang bukan kepalang ini bukannya surut lantangnya, ia tetap lantang. Tapi kutatap lagi, lantangnya ganjil. Lantangnya bukan lantang yang lurus selurus tuntunannya. Lantangnya ini lurus sesuai arahannya sendiri. Ia tetap lantang, tetap lurus, tapi ia sendiri yang buat garis lurusnya, ia sendiri yang atur garis lurusnya, tak peduli apakah lurusnya ini elok dipandang, apakah lurusnya ini melindas apapun yang bisa dilindas, apakah lurusnya ini memang lurus yang seharusnya lurus, Si corong tak peduli.

Ia bukan surut beraninya, tetap ia berani, tetap ia menyalak ketika di gonggongi ratusan anjing tapi kutatap lagi si corong, ada yang ganjil. Ia berani menyalaki anjing manapun, bahkan anjing santun yang diam saja dan tidak menggonggong ikut ia menyalakinya. Corong kebanggaanku ini kelewat berani, tiap ia melenggang bukan anjing pun dipelototinya, digonggonginya, diintimidasi sedemikian rupa, bukan anjing, apapun itu yang padahal hanya diam saja, hanya senyum, santun pula tingkah polahnya tapi empuk untuk digonggongi. Corong ini habisi dia, karena corong kebanggaanku ini tak pudar beraninya.

Si corong ini bukan berkurang kokohnya. Kulihat tempo hari raksasa hijau berbadan besar mendorongnya sampai bersimbah peluh, si Corong ini diam saja, masih kokoh juga, tegar luar biasa. Entah corong kokoh yang kubanggakan ini terbuat dari apa bisa demikian kokohnya. Luar biasa. Tapi corong ini kutatap lagi, dan lagi-lagi, ada keganjilan yang menyilaukan mata. Si corong ini terlampau kokoh tak mau dengar auman singa, gonggongan anjing, embikan kambing, apapun yang berbunyi corong hanya diam tak bergeming. Bahkan ditiup topanpun ia hanya diam tak bergeser bahkan satu mili. Corong ini mulai terlampau kokoh, tak mau dengar ketika garis lurusnya bunuh burung-burung yang hanya besiul di sore hari. Tak peduli ketika terlampau berani ia tempeleng siapapun, tak hanya mereka yang meleng, yang mencoba berjalan lurus pun bagaimanapun caranya ia tempeleng. Ya, corong kebanggaan ku ini terlampau kokoh, tak peduli, tak bergeming.

Corong yang kulihat dan kukira lantang, berani, kokoh ini memang seperti apa yang kulihat dan kukira. Tapi corong yang kukira menjawab segala pertanyaan ini mulai belang dan hanya teguh pada jawabannya sendiri tak peduli ada halilintar yang tak setuju, topan yang mengamuk karena beda ucap. Corong ini terlalu angkuh.

Media, Pelacur Intelektual hari ini


Istilah pelacuran intelektual pertama kali saya baca dalam buku Soe Hok Gie karya Rudi Badil dan kawan-kawan yang diterbitkan beberapa tahun silam. Salah satu bagian dari buku tersebut melukiskan kegeraman Gie pada rekan-rekannya, yang sebelumnya berjuang bersamanya menggulingkan pemerintahan Soekarno yang mereka nilai sudah tidak lagi 'klop' dengan bangsa Indonesia hari itu. Ketika kemudian Soeharto menjadi suksesornya, rekan-rekan Gie sesama aktivis lalu berduyun-duyun masuk ke jajaran parlemen, bahkan dengan semangat untuk mendapatkan kredit mobil merek Holden yang terbilang mewah kala itu.

Istilah pelacur intelektual pernah pula saya baca pada sebuah artikel di situs romelteamedia.com mengenai netralitas lembaga survei di masa kini. Pelacur intelektual ini ditujukan kepada para peneliti di bidang survei yang “melacurkan” keilmuannya untuk menghasilkan hasil survei yang sudah dirancang sedemikian rupa memihak.

Hari ini, di tengah gonjang-ganjing tentang Pemilu Presiden (pilpres) yang demikian ramai, kita disuguhi pertarungan seru dari dua kubu. Pertarungan ini rasanya membuat kita selalu ingin menjadi penonton di bangku terdepan dalam arena adu hebat dari dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden. Namun, mari kita lihat perilaku media. Media pada hakikatnya merupakan corong informasi yang diharapkan memberikan informasi yang selurus-lurusnya, tetapi dalam situasi panas jelang pilpres sekarang, "kelurusannya" itu patut dipertanyakan!

Wajar bila konsumen media saat ini beranggapan bahwa informasi dari beberapa media sudah tidak “lurus” lagi, mengacu pada keberpihakan pemilik beberapa media pada salah satu kutub dari dua petarung pilpres tahun ini. Masyarakat “melek politik” hari ini juga pasti menyadari keberpihakan pemilik beberapa media pada kubu-kubu yang bertarung dalam laga pilpres hari ini sedikit banyak berimbas pada kualitas informasi yang disampaikan melalui medianya. “Ketidaklurusan” corong-corong informasi saat ini tentu membuat saya geram. Media-media tertentu mengundang buruk sangka saya tentang ketidakeleganan mereka dengan berpihaknya sang pemilik pada kubu tertentu. Sebagai contoh, sang pemilik bergabung dalam kubu capres-cawapres A, maka nampak sekali porsi informasi mengenai gerak-gerik capres-cawapres A lebih banyak disampaikan dibanding capres-cawapres dari kubu lain. Kadang bisa kita saksikan pula media macam ini menginformasikan berita tentang capres-cawapres dari kubu lawannya, namun yang disampaikan adalah informasi yang tampaknya menyingkap "hal-hal kelam" dari petarung kubu lawan.

Hal mengenai kenetralan media pers khusunya, tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Di dalamnya tidak disebutkan perihal keharusan pers dalam menyampaikan informasi haruslah berimbang, tidak berat sebelah atau larangan tertentu keberpihakan suatu media pers atau pemiliknya pada suatu kekuatan atau kubu peserta politik tertentu. Namun, dalam Pasal 7 Undang-undang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers ini disebutkan bahwa, wartawan memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik.

Membaca Kode Etik Jurnalistik ini kita akan menemukan poin menarik pada Pasal 1, dimana disebutkan bahwa Wartawan Indonesia bersikap Independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk. Memperhatikan pula penafisran pada pasal ini, dimana yang dimaksud dengan independen adalah memberitakan peristiwa sesuai fakta dengan suara hati nurani dan tanpa campur tangan, paksaan dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers.

Memperhatikan apa yang dewasa ini terjadi apalagi menjelang pilpres dengan kondisi yang telah saya sebutkan diatas, independensi dari media pers sekali lagi patut dipertanyakan. Karena, pada hakikatnya, media sudah seharusnya memberikan informasi yang lurus dan tidak tendensius. Namun, seperti peneliti pada lembaga survei, yang dijuluki pelacur intelektual seperti yang disebutkan diatas, media sayangnya menyampaikan informasi yang tidak seimbang, sehingga dapat mempengaruhi masyarakat dalam menentukan pilihannya kelak. Hal inilah yang menimbulkan kegeraman dari berbagai sisi karena media seolah mempermainkan hakikatnya dan sudah barang tentu mempermainkan pula konsumennya dengan informasi yang tidak berimbang. Padahal, media-media pelacur intelektual ini adalah media besar yang di dalamnya bergabung jurnalis-jurnalis hebat dengan daya analisis tinggi dan penuh kompetensi; dedengkot-dedengkot dalam bidangnya yang boleh dibilang punya "otak encer". Sayangnya, entah mereka "terlacurkan kemampuannya" karena manuver politik sang pemilik ataukah memang mereka yang tak punya idealisme yang kokoh sehingga bergabung dalam "pelacuran intelektual masa kini".


Meskipun mereka dapat membela diri secara hukum, namun kenyataan bahwa mereka tak berpijak di tengah kedua kubu dan entah dimanfaatkan atau justru memanfaatkan hakikat mereka sebagai wahana komunikasi massa yang menyampaikan informasi yang mereka perolah dengan kewenangannya demi kepentingan tertentu, tentunya telah mengecewakan banyak pihak. Meskipun desing-desing berita yang mereka sampaikan belum tentum memberikan pengaruh pada konstituen di Indonesia untuk menjatuhkan pilihan, namun kenyataan yang telah saya sebutkan diatas telah mencederai kepercayaan masyarakat pada lembaga pers tertentu, dan bisa jadi lembaga pers pada umumnya apabila hal demikian (pers yang berpihak) sudah menjadi lazim.

Dimuat pula di : http://mahkamahnews.org/?p=1327

Benar? Salah?

Benar atau Salah. Dua hal yang saling bertolak belakang yang murid Sekolah Dasar pun tahu ada dua kata itu dan kapan digunakannya. Mungkin anak di Taman kanak-kanak juga sudah tahu adanya dua kata tersebut. Namun, bagaimana memaknai "Benar" dalam kehidupan kita?

Kurang lebih ketika saya duduk di bangku kelas 6 SD, saya pernah mendengar kata-kata aktivis 60'an, Soe Hok-Gie, "Kebenaran Hanya ada di langit dan dunia hanyalah palsu...". Sejak saat itu dalam diri saya terbangun pemahaman skeptis tentang makna "benar", bahwa sejatinya benar itu tidak ada dalam kehidupan sehari-hari, karena benar yang sejatinya benar itu begitu normatif, begitu tinggi untuk digapai. Dan manusia, dengan segala keterbatasannya tidak mampu untuk menggapai kebenaran itu sendiri. Sehingga segala tingkah polah manusia di dunia ini hanya benar bagi mereka yang melakukan dan meyakininya. Benar yang 100% benar itu tidak ada di dunia. Karena benar bagi saya belum tentu benar bagi teman saya. Benar atau tidak yang betul-betul pasti hanya ada pada kunci jawaban ujian yang dipunya guru. Kebenaran dalam kehidupan sehari-hari itu tidak ada. Kurang lebih begitu saya membangun argumen saya tentang "Benar" dengan melandaskannya pada kutipan Gie tersebut.

 Sementara itu dalam Ilmu Hukum Pidana, (saya lupa teori siapa) ada dua bentuk kesalahan, antara lain kesengajaan dan kealpaan. Dimaksud sengaja ketika ada pengetahuan dan ada kehendak, dan dalam kealpaan sendiri ada ketika si pelaku mengetahui tetapi secara tidak sempurna. Kurang lebih seperti itu. Kalau merujuk pada teori tersebut, yang termasuk dalam kualifikasi perbuatan diatas dapat disebut sebagai suatu kesalahan, dan menurut pada pandangan saya, lawan dari kesalahan adalah kebenaran, maka yang tidak termasuk dalam kualifikasi seperti yang dijelaskan diatas adalah kebenaran. Begitulah, kebenaran dalam perbuatan manusia digambarkan dalam sebuah teori.

Dalam buku "kenangan tak terucap: Saya, Ayah, dan Tragedi 1965", buku karya Nani Nurrachman Sutojo, Putri kedua dari Jenderal Sutoyo Siswomiharjo yang menjadi korban dalam peristiwa G-30S tahun 1965, diceritakan bagaimana Jenderal Sutoyo mendefinisikan "benar" itu sendiri pada anak-anaknya yang saat itu masih belia. Percakapannya seperti ini, "Nan, banyak hal lain di dalam kehidupan yang dianggap benar belum tentu diakui kebenarannya oleh masyarakat. Juga apa yang kamu yakini sebagai kebenaran, belum tentu dianggap benar oleh semua orang." Menyimpulkan kutipan percakapan Jenderal Sutoyo pada putrinya mengenai kebenaran tersebut, ada poin yang kurang lebih sama dari pandangan saya tentang "benar" versi Gie. Dimana kebenaran pada suatu hal itu berbeda setiap kacamata yang memandangnya. 

Seperti yang saya contohkan diatas, mungkin saya dan teman saya bisa memaknai secara berbeda mengenai "benar" itu sendiri. Setelah membaca kutipan dari jenderal Sutoyo tersebut saya mulai menyadari bahwa "benar" itu memang begitu subjektif dimana satu sama lain dapat berbeda pandangan tentang makna benar. Namun, yang paling hakiki dari ribuan pertanyaan tenang benar dan salah adalah bagaimana kita menyikapi perbedaan pandangan tentang kebenaran dalam suatu hal. Ketika kita mempertanyakan kebenaran, jawabannya tidak akan ada habisnya karena menjawab apa makna benar saja akan berbeda-beda sesuai siapa yang menjawab. Sehingga, memang tak perlulah diperdebatkan benar atau tidaknya suatu hal dengan orang lain, karena yang terpenting adalah berbuat sesuai dengan yang kita yakini benar, dan secara bijak menyikapi kebenaran-kebenaran yang dimiliki orang-orang dengan kacamata yang berbeda. Itulah yang selama ini hilang, dan sulit sekali ditemukan ditengah keberagaman tingkat tinggi diantara masyarakat Indonesia. Contoh simpelnya, Suasana Politik jelang pemilihan Presiden ini......