About my Blog

But I must explain to you how all this mistaken idea of denouncing pleasure and praising pain was born and I will give you a complete account of the system, and expound the actual teachings of the great explorer of the truth, the master-builder of human happiness. No one rejects, dislikes, or avoids pleasure itself, because it is pleasure, but because those who do not know how to pursue pleasure rationally encounter consequences that are extremely painful. Nor again is there anyone who loves or pursues or desires to obtain pain

Rabu, 19 Februari 2014

Kritik Sang Presma

Menarik sekali untuk di komentari, di skorsnya presiden mahasiswa salah satu perguruan tinggi swasta terkemuka di Kota Bandung yang dimulai beberapa hari lalu menuai cukup banyak sorotan. Oleh banyak yang menyorot, mungkin mayoritas mahasiswa universitas tersebut, di skorsnya sang presiden mahasiswa oleh pihak rektorat kampus merupakan hal yang boleh dikata kurang ajar dan melewati nilai kesopan santunan dalam berdemokrasi. Gerakan menyelamatkan sang presma beberapa mulai melindungi sang presma. Pada beberapa artikel berita yang menginformasikan peristiwa ini juga di muat foto sang presma melakukan aksi protes dalam bentuk teatrikal yang intinya menyatakan kebijakan rektorat dalam melakukan skorsing tidak tepat dilakukan sebagai bentuk pembungkaman ide dalam era demokrasi yang masih belum bisa kita tanggapi secara kaffah, mendalam, dan menyeluruh. Demokrasi sulit dimengerti di tengah kondisi masyarakat masa kini yang mendewakan terlampau jauh adanya demokrasi yang menjunjung tinggi hak azasi manusia. Padahal Hak asasi ini selalu berjalan beriringan dengan kewajiban yang seringkali luput dipahami para penganut demokrasi.

Kembali pada konteks permasalahan di skorsnya sang Presiden Mahasiswa. Mohon maaf, saya tidak atau belum dan kurang memahami jalan pikiran orang-orang yang bergerak menyelamatkan sang presma atau jalan pikiran si presma sendiri yang berusaha mengatakan yang ia rasa benar lewat sosial media yang notabene mungkin anak awam pengguna media ini pun tahu kalau dimuat di sosial media akan dibaca ratusan bahkan puluhan ribu pasang mata di dunia. Yang menurut saya tanpa membaca Undang-undang informasi dan transaksi elektronik (UU ITE) mestinya segala hal yang dimuat dalam sosial media tidak secara eksplisit (menyebut nama pihak lain) menyinggung, mencoreng atau mempermalukan si pihak kedua yang dibicarakan dalam sosial media tersebut. Dalam bentuk apapun. Meskipun kegiatan pemuatan di sosial media atau jaringan internet lainnya disertai dengan bukti valid yang nyata-nyata si pihak kedua sebagai yang dibahas oleh si penulis memang benar melakukan kesalahan, perbuatab ini tidak bisa dinyatakan sebagai hal yang tepat saya rasa. Sekali lagi tanpa berusaha membaca dan menafsirkan UU ITE, dengan nalar saja apa yang dilakukan si presma sebagai pemuat, pengunggah informasi di dunia maya ini jelas-jelas kurang jantan adanya. Apabila ia mencium kesalahan, kerancuan, kemelencengan pada apa yang dilakukan pihak kedua yang ia bahas dalam informasinya, sudah sebaiknya ia sendiri datang pada si pihak kedua membawa bukti yang valid dan mempertanyakan, kenapa bisa terjadi kesalahan seperti ini? Menurut saya seandainya si presma datang dengan membawa argumen disertai bukti valid dan menghadapi langsung si pihak kedua yang ia tuding melakukan kesalahan, dan justru di skors, hal ini baru sangat tepat dan mutlak untuk di pahami sebagai pembungkaman. Namun, apa yang dilakukan presma dengan mengunggah informasi macam ini di dunia maya justru seperti membicarakan di belakang, atau oleh umat muslim dipahami sebagai ghibah, meskipun dalam informasinya ia menyebut dengan jelas dan boleh dibilang mengikutsertakan administrator akun pihak kedua dalam informasi yang disampaikannya. Ya dalam nalar dan pemikiran saya yang tidak mencapai dan memahami jalan pikiran sang presma dan pembelanya, menurut saya apa yang dilakukan sang presma di medan informasi dunia kurang tepat, dan kurang jantan, dan konyolnya lagi, sang presma justru mengikuti gerakan protes bersama beberapa gerakan pembelanya untuk membalas tudingan pihak kedua atas tindakan tidak sopan, melanggar etika, dan menyepelekan si pihak kedua. Dan saya tidak punya bahasa lain yang menunjukan kebingungan dan ketidakmengertian saya atas fenomena ini, ternyata banyak yang mendukung perbuatan sang presma, dan hebatnya lagi dukungan juga datang dari rekan mahasiswa kampus lain yang mendukung gerakan sang presma.

Sungguh hal ini bagi saya cukup mengecewakan, mahasiswa di Indonesia belum pantas jadi agent of change  kalau begini ceritanya. Pemahaman mereka atas fenomena sosial macam ini masih terlalu disaut dengan emosionil dan cenderung mengutamakan nilai besar yang dijunjung tanpa memahami nilai besar ini lebih dalam. Nilai-nilai sederhana yang menyokong nilai besar ini. Kurangnya pemahaman mereka akan nilai penyokong inilah yang mengantarkan mereka pada ke belum pantasan menjadi agent of change

Lebih lagi tampaknya mereka masih kesulitan membedakan mana yang benar dan salah. Benar dan salah memang relatif, nalar orang berbeda-beda, tapi, aturan, undang-undang adalah perwujudan kesamaan nilai individu dalam masyarakat untuk melindungi satu sama lain. Dan mahasiswa harusnya bergerak lebih maju dengan nalar dan pemahaman di banding solidaritas belaka. Seperti yang sering saya dengar dan bergema di tempat saya belajar, "bergerak karena kepahaman" menurut saya tagline yang sangat tepat mengiringi mahasiswa yang rajin memperjuangkan hak-hak masyarakat.

0 komentar:

Posting Komentar