About my Blog

But I must explain to you how all this mistaken idea of denouncing pleasure and praising pain was born and I will give you a complete account of the system, and expound the actual teachings of the great explorer of the truth, the master-builder of human happiness. No one rejects, dislikes, or avoids pleasure itself, because it is pleasure, but because those who do not know how to pursue pleasure rationally encounter consequences that are extremely painful. Nor again is there anyone who loves or pursues or desires to obtain pain

Rabu, 05 Februari 2014

Sulit Memimpin Negeri yang Besar Ini, Kawan...

Tahun ini akan menjadi tahun yang begitu ramai dengan perubahan. Dari salah sebuah majalah yang saya pernah baca, 2014 dipilih menjadi tahun dilaksanakannya pesta demokrasi di berbagai negara di dunia. Salah satunya jelas Indonesia. April nanti kita akan menunaikan kewajiban warga negara dalam melaksanakan hak politiknya. Disebut hak politik sebagai hak pun rasanya sulit untuk diterapkan, karena hak yang pada hakikatnya sesuatu yang dilaksanakan dengan kemauan sendiri, dan tanpa paksaan justru seringkali hak tersebut tidak digunakan. Bila, hanya segelintir tidak masalah, tapi dalam beberapa kasus pemilihan lingkup kampus saja, 50% suara lebih tak berhasil diserap. Dapat dibilang banyak orang yang tidak melaksanakan haknya. Padahal, hak tadi akan berpengaruh besar pada sistem kemasyarakatan kita, dan bisa jadi karena disia-siakannya hak tadi, maka hak orang lain memperoleh kehidupan yang baik pun terganggu. Maka, tidakkah ini bisa disebut sebagai pelaksanaan kewajiban dalam menunaikan haknya?

Baru soal melaksanakan hak yang satu itu saja sangat sulit tampaknya. Baru hak yang identik dengan pelaksanaan secara sukarela, senang hati, tanpa paksaan. Bagaimana dengan kewajibannya? Tak bisa dibayangkan pelaksanaannya.

Politik sering dibilang kejam, saya pikir pun begitu. Pemimpin sering dikata tak pantas, berjuang demi perut sendiri, tak berintegritas. Salah apa di negeri ini sering di timpakkan pada mereka yang sekarang duduk sebagai pengelola. Presiden terlambat bergerak ratusan juta orang mencerca, menteri-menteri kita melakukan hal yang dianggap aneh akan di bilang mereka menyimpang. Anggota dewan, Gubernur, Camat, Lurah, dan seluruh perangkat lainnya rawan sekali dengan stigma negatif masyarakat. Tidak bisa dipungkiri, saya juga bagian dari masyarakat yang seringkali berpikir demikian dalam hal yang saya hadapi sehari-hari. Paling enak memang menyalahkan salah satu pihak, dan sasaran empuk yang sudah lumrah untuk disalahkan di negeri ini tak lain tak bukan adalah orang-orang yang duduk di kursi kekuasaan.

Memang terciptanya stigma begitu tidak akan hanya muncul begitu saja, tapi muncul pula lewat perilaku pihak yang tertempel stigma padanya, misal, stigma adik malas, karena mungkin si adik ini tidak mau sekolah, atau tidak mau mengerjakan pr dan semacamnya. Bisa pula kita nyatakan mereka yang saat ini tertempel padanya stigma buruk yaitu orang-orang yang tengah ada pada kekuasaan mendapat citra buruk akibat ada kesalahan yang mereka lakukan. Namun, rasanya berlebihan ketika kita menggeneralisir kesalahan yang mereka buat menjadi seutuhnya keburukan ada pada dirinya. Sering kita dengar, "ah si a, ini ngurus negara ga benar, banyak omong, tidak ada aksi", "si B ini mukanya menjengkelkan, omongannya nyebelin, ga pantas dia jd pejabat" dan omongan lain yang biasa kita dengar. Ini adalah contoh pandangan manusia Indonesia kebanyakan pada orang-orang yang tengah melaksanakan amanahnya untuk negara. Terlalu di generalisir, kadang tidak relevan.

Saya juga pernah dengar omongan kerabat saya, sekarang pakar di Indonesia ini menjamur tidak ada ujungnya, orang yang bicara dan dianggap tau soal tertentu akan menjadi pakar tertentu. Belum lagi pengamat, aktivis dan ba bi bu yang lain. Rasanya pandangan mereka yang dirasa lebih moderat akan di anggap masyarakat kebanyakan Indonesia sebagai pandangan jitu, pandangan tepat, gerakan nyata yang di butuhkan masyarakat Indonesia yang kelaparan. Tidak masalah dengan itu, banyak pula pengamat, aktivis, dan pakar berkualitas yang opininya saya sering setujui, tapi masalahnya banyak orang Indonesia yang sering terlalu menggeneralisir hal tertentu. Ketika ada pandangan dari salah seorang pengamat tentang suatu hal yang dilakukan si A, banyak orang tidak menerima dengan baik poinnya, tapi langsung menangkap pada konklusi si A melakukan sesuatu dengan tidak tepat, maka A akan menjadi tidak tepat pula gerak-geriknya di mata masyarakat.

Saya merasa perlu kita sadari itu bahwa mereka yang saat ini menjalankan tugasnya untuk masyarakat juga manusia. Manusia yang juga sering berbuat salah seperti kita ini. Ketika ada hal yang nampak salah pada apa yang mereka lakukan, tugas kita mengingatkan, bukan menyalahkan, atau lebih buruk lagi mencap buruk, semua tentang orang itu salah, semua sistem yang kita jalani salah, dan tidak percaya akan keadaan lalu menutup mulut dan telinga dan jadi apatis. Kita juga punya kewajiban untuk memperbaiki apa yang dirasa salah, meskipun bukan kita yang melakukan, tidakkah Indonesia juga bukan milik mereka yang berkuasa saja? Tapi punya kita juga 'kan?

Ketika ada yang miring dimata kita tugas kita mengingatkan, dengan cara terbaik. Apakah dengan teriakan, hinaan, coretan, atau tindakan cenderung radikal lainnya bisa dibilang cara yang terbaik? Ingatkan saja dengan melaksanakan tugas kita dengan baik. Saya pribadi percaya, diri saya yang lebih baik yang akan menjadikan keadaan lebih baik pula. Bukan memaksa sistem menjadi lebih baik tanpa berbuat apa-apa dan cenderung meminta sistem saja agar jadi lebih baik. Padahal kita ini juga termasuk sistem tersebut. Banyak orang gemar sekali mencap buruk hal tertentu tanpa berkaca pada apa yang telah dia perbuat. Saya pun seringkali begitu, dan sedang berusaha menjadi lebih baik dengan membangun saya yang lebih baik.

Sebagai tambahan, saya pernah dengar omongan salah seorang dosen, "bubarkan saja negeri ini, mungkin ia lebih baik dalam ukuran yang lebih kecil karena terlalu rumit mengurus negara yang besar ini, bukankah tujuan negara ini pun mensejahterakan rakyatnya, mungkin rakyat akan lebih sejahtera ketika kita tidak lagi sebesar Indonesia ini" Ya saya setuju pada poin rumit mengurus negara yang besar ini, karena bayangkan di negara sebesar ini dengan urusan yang banyak sekali, yang kompleks satu sama lain, masalah alam, lingkungan, uang, agama, sosial, kesejahteraan dan sebagainya, dalam lingkup kecil saja, kota, kabupaten, desa, rt, bahkan dalam keluarga sendiri banyak yang belum mampu mengurusnya dengan baik, apa lagi negara? Akan terus menjadi lebih sulit ketika kita bertahan dalam posisi berpangku tangan seperti yang kita lakukan hari ini.

0 komentar:

Posting Komentar