About my Blog

But I must explain to you how all this mistaken idea of denouncing pleasure and praising pain was born and I will give you a complete account of the system, and expound the actual teachings of the great explorer of the truth, the master-builder of human happiness. No one rejects, dislikes, or avoids pleasure itself, because it is pleasure, but because those who do not know how to pursue pleasure rationally encounter consequences that are extremely painful. Nor again is there anyone who loves or pursues or desires to obtain pain

Senin, 06 Januari 2014

Rangka yang Berisi

Belum lama ini berita menyuguhkan berita menarik tentang sikap Basuki Tjahja Purnama, Ahok, Wakil Gubernur DKI Jakarta, yang menolak instruksi gubernur DKI yang tak lain adalah pasangan dan atasannya, Joko Widodo, Jokowi. Instruksi Jokowi tentang keharusan PNS naik angkutan umum menuju tempat kerjanya ditentang mentah-mentah oleh Ahok. Ia dianggap berbagai pihak sebagai orang arogan atas sikapnya yang pada dasarnya secara hierarkis organisasi menolak perintah atasannya. Namun, ada yang menarik untuk kita bahas fenomena ini, kebijakan "membumi" Jokowi, dan sikap "saklek" Ahok.

Jokowi-Ahok, selama ini dikenal sebagai pasangan yang pas, saling melengkapi dan tidak ada masalah selama 1 tahun lebih menjabat. Jokowi selama ini terkenal dengan "blusukannya" turun langsung ke lapangan dan membenahi apa yang perlu dibenahi secara fasilitas, dan mengakkan apa yang perlu di tegakkan di Kota Multikultural macam Jakarta. Sementara Ahok, ambil posisi memperbaiki kondisi dan struktur internal pemerintah daerah DKI Jakarta. Kita selama ini mengenal Jokowi, sebagai sosok yang santun, ramah, apa adanya, dan talk less do more. Menjadikan ia sosok populer, bahkan di gadang-gadangkan maju sebagai calon Presiden meski berarti, meninggalkan kursi kepemimpinan di DKI Jakarta yang tak akan tuntas masanya andai dia memutuskan maju. Jokowi menjadi begitu populer atas sikapnya yang apa adanya itu, bahkan lebih populer dari pasangannya pada pemilihan gubernur DKI Jakarta 2012 silam, yang kini menjabat sebagai wakil gubernur DKI Jakarta, Ahok. Ahok dikenal sebagai sosok yang keras, disipli, tepat waktu, juga apa adanya. Bedanya apa adanya Ahok ini lebih pada apa yang ada di pikirannya di utarakannya dengan caranya yang kadang cenderung menyakitkan karena ucapannya yang terasa kurang nyaman di dengar. Tapi, jika di cermati lagi omongan Ahok ini benar dan sesuai dengan apa yang ada, contohnya, ketika ramai di situs Youtube.com tayangan Ahok memarahi salah satu stasiun tv swasta. Ahok juga beberapa kali dikecam oleh berbagai pihak atas tindakannya memarahi perangkat pemerintahan DKI Jakarta yang bahkan di upload pula ke Youtube.com. Ketika kritikan datang, bahkan oleh Mantan Gubernur DKI Sutiyoso, Ahok menjawab dengan jawaban simpel tapi menjawab, 

"katanya mau keterbukaan" Tak perlu lagi kita rasa memperdebatkan tindakan tegasnya yang di pamerkan pada khalayak manusia seluruh dunia. 

Kembali pada perkara, sikap menentang ahok kepada instruksi Gubernur. Saya baca dan lupa siapa yang mebuat statement, salah seorang pakar kebijakan publik dari Universitas Indonesia menyatakan sikap Ahok yang cenderung arogan ini tidak tepat, karena kebijakan Jokowi pada dasarnya adalah kebijakan melaksanakan gerakan simbolik, agar diikuti warga Jakarta lainnya untuk mengurangi kemacetan dan pemborosan energi berlebihan. 

Kalau kita persempit, akan kita dapat dua pokok pertentangan, Gerakan simbolik Jokowi, dengan efektifitas Ahok. Gerakan simbolik Jokowi ini menurut saya gerakan yang baik, cermat, juga sangat tepat dengan kondisi DKI Jakarta khususnya saat ini. Gerakan ini adalah sebuah gerakan yang mampu menjadi acuan bagi banyak masyarakat di Jakarta bahwa tidak ada yang salah bahkan lebih nyaman dengan angkutan umum ketimbang tersiksa dengan kemacetan yang sudah jadi pemandangan sehari-hari ibukota. Selain itu, dengan gerakan ini, Jokowi ingin membuktikan bahwa dengan angkutan umum, efisiensi pengeluaran dana juga menjadi lebih efisien. Namun, ditolaknya ajakan ini oleh Ahok dengan alasan yang menurut saya tidak bisa di salahkan juga. Ia menolak karena menganggap dengan angkutan umum, ia justru bisa jadi datang lebih terlambat dari biasanya untuk bekerja. Keterlambatan akan menyita waktu Ahok dan mengambil waktunya untuk mengabdi pada rajyat DKI Jakarta. Ahok lebih memandang gerakan simbolis ini sebagai sebuah pamer semata yang tidak lebih penting daripada ketepatan waktu. Ahok memang selama ini dikenal disiplin, kerap kali ia bahkan datang lebih pagi dari satpam yang berjaga di kantornya, Ia berucap, 

"kalau mau contoh, contoh yang baik-baik dari saya, tidak datang terlambat, kerja setiap waktu, disiplin memakai waktu dan tidak korupsi" Kita bisa baca dari statement ahok, Ia lebih mengutamakan gerakan simbolis pada pergerakan moral masyarakat di banding ke yang sifatnya teknis seperti gerakan simbolis Jokowi. Lagi bisa kita tarik, Gerakan simbolis pada moral dan etos kerja Ahok, dan gerakan simbolis teknik yang ber efek pada khalayak banyak.

Namun, disini saya tidak akan meruncingkan pemahaman kepada pertentangan Ahok-Jokowi. Saya ingin membicarakan seputar sikap dan kebijakan mereka yang menurut saya sama baik, tanpa memandang mana yang lebih tepat untuk khalayak masyarakat. Kalau kita lihat sikap yang diambil keduanya sama-sama beralasan, dan alasan satu sama lain tepat dan tidak perlu dibantah. Karena alasan yang mereka utarakan sama-sama memiliki "isi". Kedua orang ini dalam mengambil tindakan tidak merupakan tindakan yang bersifat politis demi dongkrakan politik. Karena satu sama lain punya prinsip dan dasar dalam mengambil tindakannya. Relevansi dengan judul diatas, Jokowi, kebijakannya dapat dianalogikan sebagai Rangka yang berisi. Ia melakukan tindakan yang punya sebab jelas kenapa tindakan dan kebijakan itu diambil, bahkan rasanya kebijakannya tak bisa di cela karena tepat dengan keadaan sekarang. Begitu pula dengan Ahok, sudah jadi kebiasaan bukan, para pejabat di fasilitasi sedemikian baik, dari rumah tinggal, sarana kerja, kendaraan, hinggan ada tunjangan pakaian. Tetapi Ahok memanfaatkan segala fasilitas untuk pejabat ini dengan sangat tepat sasaran, menggunakannya untuk kerja sebaik mungkin demi kepentingan rakyat. Ahok saya lihat adalah tipe orang yang memang apa adanya, jika ia tidak butuh tanpa mengurangi efisiensi kerjanya, ia tak akan pakai fasilitasnya. Contohnya, rumah dinasnya yang di tolak karena ia punya rumah sendiri di Jakarta. Ya, ia memahami dengan jelas kenapa ada fasilitas untuk pejabat dan dari mana datangnya. Fasilitas yang diberikan padanya digunakan sebaik-baiknya untuk megembalikan pada pemiliknya, rakyat. Jelaslah kedua sosok ini tindakannya merupakan tindakan yang berisi, mengerti sebab, dan dasar dalam mengambil tindakan. Bahasa keilmuannya, substansiil. Rangka yang Berisi.

0 komentar:

Posting Komentar