About my Blog

But I must explain to you how all this mistaken idea of denouncing pleasure and praising pain was born and I will give you a complete account of the system, and expound the actual teachings of the great explorer of the truth, the master-builder of human happiness. No one rejects, dislikes, or avoids pleasure itself, because it is pleasure, but because those who do not know how to pursue pleasure rationally encounter consequences that are extremely painful. Nor again is there anyone who loves or pursues or desires to obtain pain

Minggu, 05 Januari 2014

Idealisme itu terlalu utopis?

Seorang teman, belum lama iseng buka-buka folder gambar di handphone saya. Muncul foto ini :
Ibrahim Datuk Tan Malaka. Tokoh yang namanya tak banyak di dengar anak muda sekarang. Dari puluhan bahkan ratusan pendiri bangsa, nama Tan Malaka mungkin hanya nyempil di urutan ke sekian ratus.  Padahal dia punya gagasan-gagasan besar yang siap melambungkan Negaranya, yang entah kenapa, apa istimewanya, begitu besar dia perjuangkan hingga mengelana keliling dunia dengan puluhan nama samaran yang entah mengantarkannya pada apa. Mati di cap pengkhianat dengan partainya kala itu Murba. Ya, politik, tarik ulur, sedikit senggolan lah yang mengantarkan peluru bersarang pada bung "tak terlihat" ini di ujung akhir nafasnya. Bung "tak terlihat", jasanya sama besar, apa yang diberikan sama besar dengan banyak bung-bung lain yang kita kenal di bumi kita ini. Tapi, Bung yang satu ini seolah pengabdiannya lenyap ditelan negaranya sendiri yang diperjuangkan sedemikian rupa. Tak akan saya ceritakan detil tentang beliau, perjuangannya dan kisahnya, namun bila berminat coba baca buku seri yang dikeluarkan Majalah Tempo pada seri Bapak Bangsa, "Tan Malaka: Bapak Republik yang Dilupakan". Tentang beliau ini hanya menjadi pengantar menuju pokok pembahasan saya kali ini.

Kembali ke teman saya, Ia lalu bertanya,
"apa maksudnya gambar ini? Kenapa lu simpen?"

"Karena dia unseen but real"

Unseen but real seolah menjadi kalimat kesukaan saya mengenai suatu perjuangan yang hakiki, tak terlihat tapi nyata, tak dapat di rasakan tapi dapat ditangkap logika. Bahkan itu adalah salah satu bentuk pancasila yang abstrak-umum.

Namun, saya mencoba berpikir kembali, apakah unseen but real ini tepat dalam mencapai apa yang kita perjuangkan hari ini? Dua tokoh idealis kesukaan saya, Soe-Hok Gie dan Tan Malaka, keduanya para Unseen but real-er sejati. Berlari tanpa terlihat, tapi berlari, mendobrak tanpa terlihat, tapi mendobrak. Itu mereka. Perjuangan mereka menurut saya sangat-sangat patut di puji. Menjaga nilai tanpa pamrih yang sangat tinggi. Namun, saya pun tak mengerti apa yang sejatinya mereka cita-citakan? Apakah yang mereka cita-citakan itu terlalu normatif hingga sulit nalar dan praktek untuk menggapainya? Karena kerasnya perjuangan mereka tak pernah terkristalkan menjadi sistem kehidupan yang dirasakan secara umum bagi masyarakat. Dobrakan para unseen-er ini cenderung mengena sasaran lalu hancur menjadi abu yang lalu di hirup individu-individu untuk menyetujui gagasan mereka. Namun, gagasan mereka tak pernah menjadi gagasan universal, gagasan masyarakat, untuk menjadi cita-cita bersama. Ya, pemikiran dan gagasan mereka hidup di hati dan akal para pengagumnya saja, namun tak pernah di bawa ke ranah praktis untuk di buatnya menjadi kenyataan. Perjuangan mereka tak pernah sia-sia, tetapi lenyap tak bertuan, setelah lantang suara parau mereka yang biasa di lagukan lewat pena tak lagi menulis kata-kata. Tan Malaka pernah berucap.

"dari dalam kubur suaraku akan lebih lantang" kurang lebih begitu.

Namun, saya belum menemuka ke lantangan suaranya hari ini. Karena, tak ada yang berubah dari dunia ini. Jauh dari normatif. Jauh dari angan-angan. Jangan-jangan cita-cita mereka saja yang terlalu utopis? Terlalu elok untuk di praktekan? Karena, seperti kata Gie, Kebenaran hanya ada di langit. Mungkin, Pancasila, yang fungsi dan kedudukannya sebagai pandangan hidup bangsa, ideologi, juga dasar Negara itu dibuat terlalu tinggi bagi Indonesia oleh bung karno dan kawan-kawan. Disebut pandangan hidup bangsa, namun kita sendiri seolah tak pernah menemukan titik dimana kita harus memandang, Pancasila juga terlalu utopis?

Saya sampai pada konklusi yang menjemukan dan menyedihkan, apakah dunia yang diidam-idamkan banyak orang yang santun bersahabat dan bahagia seperti cerita-cerita dongeng masa kecil tentang kerajaan yang tentram hanya akan selalu menjadi cerita yang tak bisa kita bawa ke dunia nyata ini? Munkin, dunia terlalu fana, terlalu singkat untuk membuat kisah tadi jadi nyata.
Tuhan menggenggam mimpi orang yang berusaha, dan dunia ini bukan hanya milik saya, Gie, atau Tan Malaka, atau idealis-idealis lain, tapi milik berapa juta pemimpi lainnya yang harusnya mampu merealisasikan mimpi ini pula. Tampaknya menjadi unseen-er meski real tak lagi tepat, para real-man harus lebih seen untuk menjadi corong, mercusuar, tonggak peradaban yang bahagia dan kita impikan. Semoga, kita semua, termasuk saya, diberi kesempatan menjadi motor penggerak menuju peradaban yang bahagia.

0 komentar:

Posting Komentar