About my Blog

But I must explain to you how all this mistaken idea of denouncing pleasure and praising pain was born and I will give you a complete account of the system, and expound the actual teachings of the great explorer of the truth, the master-builder of human happiness. No one rejects, dislikes, or avoids pleasure itself, because it is pleasure, but because those who do not know how to pursue pleasure rationally encounter consequences that are extremely painful. Nor again is there anyone who loves or pursues or desires to obtain pain

Kamis, 02 Januari 2014

Mencari yang hakiki (1)

Saya terlahir muslim, sekitar 19 tahun lalu. Sebelum berkenalan dengan taman kanak-kanak, rasanya orang tua saya mengajak saya lebih dulu untuk mengenal agama saya, Islam, di Masjid tidak jauh dari rumah. Dan secara kontinyu saua belajar mengaji dan agama di masjid tersebut hingga masuk SD. TK dan SD saya pun keduanya institusi islam yang cukup baik di kota saya. Di SD ini saya mendapat  bekal agama yang begitu banyak. Usia 10 tahun, saya pindah kota, ikut ayah bekerja. Kali ini SD saya SD Negeri, pengajaran agama tak sebanyak di SD saya sebelumnya. Maka di luar sekolah saya  ikut bimbingan agama di masjid dekat rumah. Berlanjut ke bimbingan privat hingga saya SMA.

Cukup saya sadari di SD kedua saya, saya mulai berinteraksi dengan beragam kawan, jauh lebih beragam dari kawan saya di kota lama yang rata-rata berlatarbelakang sama. Bahkan disana tidak ada yang non-muslim. Ketika di SD baru, saya banyak bersinggungan dengan hal baru yang berwarna, positif dan negatif. Saya mulai ikut-ikutan. Seingat saya positif dan negatif berjalan beriringan. Meski hingga SMA saya tetap mendapat bimbingan agama, tidak dapat dipungkiri saya masih sering berjabat tangan dengan banyak hal yang dilarang agama. Ya dosa-dosa anak seusia saya ketika itu mungkin. Hari itu saya merasa, Ibadah, dan hal-hal berbau agama lainnya wajib saya lakukan sebagai penggugur kewajiban saja. Tanpa mendalami maknanya.

Di penghujung SMA, saya banyak sekali berdoa, banyak sekali beribadah. Ibadah yang sering saya abaikan di hari biasa, saya lakukan saat itu. Tujuannya satu : Masuk PTN favorit dengan jurusan pilihan saya. Belajar saya ikuti, Sampai malam, begadang-begadang, kala itu teman-teman saya juga begitu. Jadi, kalau saya tidak ikut begitu saya merasa kalah. Waktu itu keyakinan saya lebih ke "kalau kita berdoa dan berusaha pasti dikabulkan". Rupanya setelah pengumuman penerimaan, saya gagal masuk jurusan di universitas yang saya mau. Dan dalam sebulan saya ditolak lima universitas negeri lainnya. Saya lalu lupa pada Tuhan, lupa segalanya. Saya malas beribadah, berdoa enggan, apalagi ibadah-ibadah yang tidak wajib yang jadi kebiasaan ketika menjelang tes. Saya merasa doa saya sia-sia.

 Dan lalu saya meneruskan ke PTS yang boleh dibilang bagus untuk jurusan yang saya masuki. Disini PTS saya adalah institusi agama non muslim. Kawan-kawan saya pun boleh dibilang orang-orang berpikiran liberal. Praktis saya tidak dapat bimbingan agama Islam. Apalagi saya di kota yang jauh dari orangtua. Saya jarang sholat wajib, berkelakuan jauh dari auran agama. Tapi, Nilai saya memuaskan. Saya jadi berpikir, tanpa doa, saya bisa kalau berusaha. Ditambah ajaran-ajaran filsafat yang meneguhkan hati saya, Agama hanyan bentuk perwujudan sesembahan dari manusia, semua manusia pasti menyembah sesuatu, meminta sesuatu pada suatu entitas tertentu yang ada tidaknya pun kita tidak tahu. Di luar nalar, membantah logika. jadi Tuhan dan yang kita sembah itu hanya kecenderungan manusia yang logis. Bukan karena ada Tuhan yang menciptakan. Saya hampir Atheis saat itu.

Tiba-tiba saya sakit, pulang ke rumah orangtua saya, dan cukup lama saya pulih. Saya tertinggal materi kuliah. Dan akhirnya cuti. Berbagai alasan, orangtua saya menyarankan saya tes masuk Universitas lain di kota asal orangtua saya. Kali ini bebas jurusan pilihan saya, karena kalau diingat, jurusan yang saya pilih ketika SMA itu adalah permintaan orangtua saya yang sebenarnya bukan kesukaan saya.

Setelah semua Tes diikuti, akhirnya saya masuk ke PTN keinginan saya dari kecil. Tapi, di jurusan yang berbeda dengan yang saya mau di SMA. Saya merasa jurusan ini memang yang terbaik. Di tempat baru inilah, saya mulai sering berdiskusi dengan kawan saya tentang agama Islam, Kawan saya ini memahami seberapa jatuhnya iman saya di tempat lama saya. Ia menyodorkan beberapa video ceramah yang menyarankan untuk bertaubat. Cukup membuat saya takut, tapi lalu saya lupa dengan ketakutan saya itu. Namun, ajakan teman saya itu membuat saya sedikit lebih banyak beribadah, dan mulai melangkahkan kaki ke masjid. Meskipun tidak rutin karena saya masih cenderung memahami ibadah saya sebagai penggugur dari kewajiban. Kalau saya tidak melakukan saya akan dihukum Tuhan. Baik, di dunia maupun akhirat. Ibadah saya sekadar formalitas, mengikuti prosedur saja. Bersambung

0 komentar:

Posting Komentar