About my Blog

But I must explain to you how all this mistaken idea of denouncing pleasure and praising pain was born and I will give you a complete account of the system, and expound the actual teachings of the great explorer of the truth, the master-builder of human happiness. No one rejects, dislikes, or avoids pleasure itself, because it is pleasure, but because those who do not know how to pursue pleasure rationally encounter consequences that are extremely painful. Nor again is there anyone who loves or pursues or desires to obtain pain

Jumat, 03 Januari 2014

Mencari yang Hakiki (2)

Di tempat baru saya ini,  saya mengikuti kegiatan sesuai nurani saya. Karena di lingkungan baru ini, Mahasiswa memanggul kemana-mana Idealisme. Sering saya menemukan pekik-pekik perlawanan mereka terhadap entah apa yang mereka lawan di sisi-sisi kampus. Saya pun tak tahu mereka berdiri dimana dan melawan siapa. Bagi saya teriakan mereka itu banyak omong kosongnya. Semangat mereka seolah tanpa mengkaji dari semua sisi sebelum mereka bisa berteriak. Kurang, atau belum dewasa mungkin. Di wahana yang bagi saya begitu non-sense ini saya pun mengikuti apa yang menarik hati saya, kegiatan sosial. Saya ikut komunitas kecil-kecilan yang kegiatannya mengajar anak-anak saban malam minggu. Dan sekali waktu saya malu ketika salah seorang yang saya ajar, siswi SMA yang banyak anak sekarang bakal bilang dia alay atau semacamnya, rupanya seorang guru ngaji di desanya. Ketika ditanya sudah berapa kali khatam, saya hanya bisa menjawab dengan rasa malu, belum pernah.

Di tempat ini saya melihat kawan-kawan baru yang menggugah hati saya untuk kembali menyentuh agama. Mereka tampak hidup dengan kebersahajaan, ketenangan mereka sendiri dengan doa-doa dan ibadah mereka. Tak peduli sorak sorai gemerlap mahasiswa lain yang tampak memiliki segalanya. Dan saya rasa yang macam itulah idealisme sejati.

Di hati kecil saya ini rupanya masih ada keinginan mencari 'sesuatu' yang bisa digenggam, bisa di lakukan orang-orang demi agamanya. Saya yang mulanya mencari hobi dengan nonton film-film barat di laptop, mulai jenuh. Sebagai mahasiswa yang tak banyak tugas dan kegiatan, saya cari hobi lain. Dan hari itu saya pergi ke sebuah toko buku, iseng mencari pembunuh waktu yang paling sesuai bagi saya.

Dari rak politik yang saya gemari, saya bergeser ke rak biografi yang biasanya membuat tangan saya gatal untuk membacanya, namun dua tipe buku ini tak menggoda saya. Lanjut, novel anak remaja, cinta-cintaan, rasanya terlalu ringan, tidak membuat saya berpikir. Novel sastra dan filosofi saya baca beberapa dan pusing kepala dibuatnya, Buku macam itu , tak betah saya membacanya. Saya putar-putar toko buku dan melihat-lihat buku best seller, belum ada yang menarik saya ke kasir untuk membelinya. Buku agama, saya punya banyak di kos. Banyak pula yang belum selesai. Buku apa? Saya buka handphone saya yang ternyata di dalamnya tersimpan catatan beberapa judul buku, dan saya ingat buku ini yang akan saya beli. Buku tentang perjalanan seseorang keliling Eropa. Entah kenapa saya selalu tertarik dengan hal berbau negara lain. Dan kebetulan novel tadi bicara tentang Islam juga. Saya beli.

Di kos, saya baca beberapa lembar awal, sampai 5 halaman, tutup. 5 halaman tutup. Begitu sampai suatu hari saya libur dan baca agak lama. Rupanya novel memang sulit untuk di tutup setelah menjelang setengah novel, isinya makin seru dan akhirnya saya selesai membaca. Novel inlah yang memberi saya sebuah konklusi yang secara sederhana memberi efek besar pada saya, kesadaran saya. Bahwa agama yang dari lahir disematkan pada saya, yang bertahun-tahun saya belajar teorinya, rupanya tak sekedar teori saja. Tetapi pada agama Islam yang selama ini saya jalani sebagai tugas semata punya nilai lebih yang membuat saya ingin betul-betul memperdalamnya. Islam menawarkan kedamaian, juga perdamaian. Sederhana, tapi entah mengapa membuat saya cukup tertarik untuk tau lebih dalam. Saya jadi ingat, banyak orang barat tak beragama. Mereka keliling dunia mencari sesuatu yang di dunianya mereka tidak tahu. Rata-rata mereka menemukan sesuatu ketika di Asia, kedamaian dalam agama. Dan itulah yang saya sadari dari novel ini.

Kedamaian yang seperti apa? Tenang, tiba-tiba rasanya tenang, ketika kita berkeluh kesah lebih banyak pada Tuhan dibanding pada kawan yang selama ini getol saya lakoni. Karena ketika kita 'berbicara' pada Tuhan, terselip suatu keyakinan yang akan dan harus kita pegang. "kita akan dapat yang terbaik apapun hasilnya". Tidak asing bukan? Tapi memahaminya yang sulit. saya jadi berpegang pada adagium yang sudah lama terkenal "everything happens for a reason" dan "reason" yang sesungguhnya itu datang dari Tuhan, karena yang turun pasti yang terbaik, atau ada sesuatu dibaliknya. Saya jadi begitu percaya tentang "His Invisible hand", semua ada yang mengatur. Lama saya tahu itu, tapi baru saya pegang sekarang. Dan dengan keyakinan-keyakinan itu saya pun menjadi lebih tenang menjalani sesuatu karena yakin apa yang kita sedang jalani kalau dengan ridhoNya akan menjadi yang terbaik buat kita.

Satu hal yang membuat saya ingin menulis tentang ini, tempo hari saya sedang melihat-lihat Facebook. Dan di Timeline saya melihat ada sebuah akun yang menarik saya untuk masuk. Bau-bau agama. Saya masuk, baca beberapa artikel lalu saya baca beberapa komentar. Dan tampaknya ada hal yang begitu menjadi ironi bagi saya. Ada salah seorang yang komentarnya menjadi bumerang bagi dia dan Agamanya. Ia Islam, dan komentar yang dilontarkan mengkomentari seseorang diatasnya yang memang statementnya menentang isi artikel tentang agama ini. Tampaknya dari nama dia seorang non-muslim, Dan si Muslim ini menjawabnya dengan ucapan-ucapan kasar yang tidak pantas dan mencederai nama Islam yang sejati. Islam yang menawarkan kebaikan dan perdamaian.

Pada salah satu buku yang sedang saya baca tentang panglima Islam yang menaklukan suatu wilayah yang dijanjikan Rasulullah, ada suatu etika yang diajarkan Rasulullah, saya lupa bagaimana kata-katanya, tapi intinya, menyeranglah ketika lawanmu menyerang, Jangan menyerang jika tidak ada apapun yang menyerangmu. Betapa Islam sebenarnya agama yang menjanjikan perdamaian di dalamnya. Menjanjikan perdamaian sebagai sesuatu yang hakiki menurut saya. Bahkan dalam novel tentang penjelajahan Eropa yang saya baca tadi, di gambarkan ketika Islam di cemooh orang barat, dan dijawab dengan tenang dan hangat oleh si muslim, orang barat ini jadi ingin tahu lebih soal Islam. Tertanam, Menjadi agen muslim yang baik : dengan perdamaian, sopan santun, dan kehangatan.

Ironis rasanya melihat banyak orang yang menurut saya pengetahuannya tentang Islam jauh diatas saya justru menampakkan Islam dengan wajah antagonis yang tanpa kelembutan melarang sesuatu bahkan dengan paksa. Tidak hanya soal kaum-kaum yang salah mengartikan jihad, tapi juga terjadi dalam kehidupan sehari-hari, kawan kita yang kadang bertindak sebagai polisi syariat bagi orang di sekelilingnya yang kadang melarang sesuatu dengan paksaan, bukan pemahaman, kelembutan dan perdamaian. Saya sendiri belum bisa menjadi agen muslim dengan kelembutan, saya masih banyak belajar. Namun, saya cukup menyayangkan mereka-mereka yang kemana-mana dengan label muslim yang jelas pada tubuhnya (yang tidak seperti saya yang seringkali disangka beragama selain islam), justru sering menampilkan wajah garang tentang Islam, yang membuat islam diartikan lain oleh orang lain, malah ada oknum dengan Nama besar Islam (di Negeri ini dan di lingkungan saya) yang sering saya dengar cerita justru hadir dengan ambisi-ambisi yang memuakkan. Hal inilah yang justru bagi saya jadi kulit agama Islam yang bisa dilihat banyak orang negeri ini. Pandangan orang Eropa, Konstantinopel, pada pasukan muslim di tahun 1400-an tampaknya sesuai dengan keadaan muslimnya sendiri hari ini, Pasukan Muslim, yang kejam dan penuh ambisi.

Padahal, didalamnya Islam itu hadir dengan persahabatan, dengan pesan membawa kebaikan dan kebenaran, Itu menurut kacamata saya. Dan menjadi pesan penting bagi kita semua untuk memahami segala sesuatunya secara esensial, secara substansial, bukan terbatas pada kulit luarnya saja, terbatas pada tradisi, juga kebiasaan.

0 komentar:

Posting Komentar