About my Blog

But I must explain to you how all this mistaken idea of denouncing pleasure and praising pain was born and I will give you a complete account of the system, and expound the actual teachings of the great explorer of the truth, the master-builder of human happiness. No one rejects, dislikes, or avoids pleasure itself, because it is pleasure, but because those who do not know how to pursue pleasure rationally encounter consequences that are extremely painful. Nor again is there anyone who loves or pursues or desires to obtain pain

Senin, 21 Juli 2014

Benar? Salah?

Benar atau Salah. Dua hal yang saling bertolak belakang yang murid Sekolah Dasar pun tahu ada dua kata itu dan kapan digunakannya. Mungkin anak di Taman kanak-kanak juga sudah tahu adanya dua kata tersebut. Namun, bagaimana memaknai "Benar" dalam kehidupan kita?

Kurang lebih ketika saya duduk di bangku kelas 6 SD, saya pernah mendengar kata-kata aktivis 60'an, Soe Hok-Gie, "Kebenaran Hanya ada di langit dan dunia hanyalah palsu...". Sejak saat itu dalam diri saya terbangun pemahaman skeptis tentang makna "benar", bahwa sejatinya benar itu tidak ada dalam kehidupan sehari-hari, karena benar yang sejatinya benar itu begitu normatif, begitu tinggi untuk digapai. Dan manusia, dengan segala keterbatasannya tidak mampu untuk menggapai kebenaran itu sendiri. Sehingga segala tingkah polah manusia di dunia ini hanya benar bagi mereka yang melakukan dan meyakininya. Benar yang 100% benar itu tidak ada di dunia. Karena benar bagi saya belum tentu benar bagi teman saya. Benar atau tidak yang betul-betul pasti hanya ada pada kunci jawaban ujian yang dipunya guru. Kebenaran dalam kehidupan sehari-hari itu tidak ada. Kurang lebih begitu saya membangun argumen saya tentang "Benar" dengan melandaskannya pada kutipan Gie tersebut.

 Sementara itu dalam Ilmu Hukum Pidana, (saya lupa teori siapa) ada dua bentuk kesalahan, antara lain kesengajaan dan kealpaan. Dimaksud sengaja ketika ada pengetahuan dan ada kehendak, dan dalam kealpaan sendiri ada ketika si pelaku mengetahui tetapi secara tidak sempurna. Kurang lebih seperti itu. Kalau merujuk pada teori tersebut, yang termasuk dalam kualifikasi perbuatan diatas dapat disebut sebagai suatu kesalahan, dan menurut pada pandangan saya, lawan dari kesalahan adalah kebenaran, maka yang tidak termasuk dalam kualifikasi seperti yang dijelaskan diatas adalah kebenaran. Begitulah, kebenaran dalam perbuatan manusia digambarkan dalam sebuah teori.

Dalam buku "kenangan tak terucap: Saya, Ayah, dan Tragedi 1965", buku karya Nani Nurrachman Sutojo, Putri kedua dari Jenderal Sutoyo Siswomiharjo yang menjadi korban dalam peristiwa G-30S tahun 1965, diceritakan bagaimana Jenderal Sutoyo mendefinisikan "benar" itu sendiri pada anak-anaknya yang saat itu masih belia. Percakapannya seperti ini, "Nan, banyak hal lain di dalam kehidupan yang dianggap benar belum tentu diakui kebenarannya oleh masyarakat. Juga apa yang kamu yakini sebagai kebenaran, belum tentu dianggap benar oleh semua orang." Menyimpulkan kutipan percakapan Jenderal Sutoyo pada putrinya mengenai kebenaran tersebut, ada poin yang kurang lebih sama dari pandangan saya tentang "benar" versi Gie. Dimana kebenaran pada suatu hal itu berbeda setiap kacamata yang memandangnya. 

Seperti yang saya contohkan diatas, mungkin saya dan teman saya bisa memaknai secara berbeda mengenai "benar" itu sendiri. Setelah membaca kutipan dari jenderal Sutoyo tersebut saya mulai menyadari bahwa "benar" itu memang begitu subjektif dimana satu sama lain dapat berbeda pandangan tentang makna benar. Namun, yang paling hakiki dari ribuan pertanyaan tenang benar dan salah adalah bagaimana kita menyikapi perbedaan pandangan tentang kebenaran dalam suatu hal. Ketika kita mempertanyakan kebenaran, jawabannya tidak akan ada habisnya karena menjawab apa makna benar saja akan berbeda-beda sesuai siapa yang menjawab. Sehingga, memang tak perlulah diperdebatkan benar atau tidaknya suatu hal dengan orang lain, karena yang terpenting adalah berbuat sesuai dengan yang kita yakini benar, dan secara bijak menyikapi kebenaran-kebenaran yang dimiliki orang-orang dengan kacamata yang berbeda. Itulah yang selama ini hilang, dan sulit sekali ditemukan ditengah keberagaman tingkat tinggi diantara masyarakat Indonesia. Contoh simpelnya, Suasana Politik jelang pemilihan Presiden ini......

0 komentar:

Posting Komentar