About my Blog

But I must explain to you how all this mistaken idea of denouncing pleasure and praising pain was born and I will give you a complete account of the system, and expound the actual teachings of the great explorer of the truth, the master-builder of human happiness. No one rejects, dislikes, or avoids pleasure itself, because it is pleasure, but because those who do not know how to pursue pleasure rationally encounter consequences that are extremely painful. Nor again is there anyone who loves or pursues or desires to obtain pain

Selasa, 22 Juli 2014

Melawan Hari Ini

Sejak duduk di bangku sekolah dasar (SD), saya akrab dengan berbagai macam buku. Dan saya ingat betul, ketika kelas 1 SD buku kegemaran saya adalah buku "100 Pahlawan Indonesia". Waktu itu saya mengidentifikasikan diri saya sebagai orang yang suka sejarah. Kegemaran tentang kisah orang-orang besar terus berlanjut. Kelas 4 SD saya membeli buku berjudul "In Memoriam: Mengenang yang Wafat". Memoar karya Rosihan Anwar berisi kenangan perkenalannya dengan 77 tokoh-tokoh besar Indonesia. Banyak isinya adalah kisah-kisah berupa Human Interest, membuat saya masih suka membolak-balik buku itu hingga sekarang. Kelas 6 SD pertama kalinya saya kenal Soe Hok Gie. Tokoh idealis kesukaan saya yang saya tahu lewat film yang tidak ibu saya izinkan untuk menontonnya. Saya mengenal Gie ketika itu sebagai orang yang luar biasa hebat. Tidak pamrih, dan teguh pendirian. Gie pun menghapuskan Soekarno sebagai tokoh idola saya ketika itu.

Masa SD-SMP inilah saya menjejali kepala saya dengan buku-buku yang belum usia saya membacanya. Ibu saya sampai menyuruh saya beli komik agar tidak stress. Ayah saya mulai mensensor buku yang saya beli. Minat saya untuk memahami perlawanan sosialis dan komunis meledak-ledak masa-masa itu. Saya mengenal perlawanan sebagai kunci dari penindasan. Saya menganggap perlawanan sebagai senjata pamungkas dari ketidakadilan di dunia ini. Itu deskripsi saya tentang perlawanan hingga saya kuliah.

Di bangku SMA saya ejawantahkan pemahaman saya tentang perlawanan dengan bergabung dalam organisasi sekolah yang memang senafas dengan pikiran saya. Majelis Perwakilan Kelas. Saya justru tidak merasa sebagai panglima perlawanan yang memanggul cita-cita teman-teman SMA saya, seperti yang saya impikan. Saya terlalu sibuk dengan program kerja dan mengurusi penyakit internal organisasi SMA itu. Saya merasa kurang cukup melawan dengan organisasi itu. Tapi mental melawan saya kental bukan main, guru yang menurut saya meleng, dan tidak pantas saya kritik setengah mati kalau perlu saya bicara dengannya di ruang guru, di ruang kerjanya. Saya anti diatur-atur seenaknya. Saya mengaggap perlawanan adalah revolusi ketika itu.

Ketika kuliah di Bandung, saya mulai bertemu dengan seorang teman. Dia semacam perindu kehadiran komunis di mata saya. Saya senang bicara dengannya ketika dia tahu banyak soal sejarah, dan sedikit-sedikit sepaham dengan konteks perjuangan ala komunis dan sosialis. Saya diajak long march waktu itu. Isinya menolak korupsi. Sampai bolos kelas. Saya ikut, berteriak-teriak, dari depan kampus saya di Jalan Ciumbuleuit sampai Dago. Umpatan-umpatan untuk koruptor mengalir hari itu. Tapi saya tidak lega, tidak merasakan jawaban. Saya sadar, bukan itu cara melawan.

Saya jadi skeptis dengan perlawanan sejak saat itu. Hidup saya diisi kuliah, belajar, dan senang-senang. Lupa baca buku sejarah. Lupa kegemaran saya, lupa melawan. Hidup saya terlalu indah saat itu, lupa dengan perlawanan dan perjuangan orang-orang yang mengais nasi di sekeliling.

Tahun berikutnya saya pindah kuliah ke Jogja. Di tempat baru saya ini justru yang tidak melawan dianggap pengkhianat. Suasana perjuangan yang saya rindukan di masa sekolah sebenarnya saya temukan di tempat ini. Tapi saya terlanjur skeptis dan tidak mau tahu. Di masa pengenalan kampus pun kami diajari untuk "aksi". Teriak-teriak, nyanyi-nyayi, dengar orasi, lalu mengepalkan tangan dengan gegap gempita semangat ala pejuang '45. Saya merasa bodoh ketika melawan seperti itu. Cuma buat lelah saja. Buat dosa saja. Belum tentu umpatan-umpatan saya di dengar yang saya umpat dan memberi pengaruh baik. Saya ada di tahap, membenci demonstrasi, membenci aksi turun ke Jalan.

Nafsu melawan itu masih ada, maka saya bergabung dengan kegiatan pers kampus yang saya rasa senafas dengan saya. Mereka punya semboyan-semboyan yang menjadi landasan saya ikut, hanya karena senada. Tapi, hobi saya menulis rasanya entah mengapa kurang mengalir di dalam kegiatan ini. Malah saya sudah merasa kurang sepaham lagi, dan cukup prinsipil, ada baiknya saya undur diri dan cari cara lain buat meredam nafsu saya yang satu ini.

Masa kuliah di Jogja ini saya isi dengan banyak baca buku yang sifatnya membangun diri, buku psikologi, buku agama. Saya mulai kehilangan kemauan melawan. Karena saya merasa masa-masa ini bukan lagi masanya melawan. Apa yang perlu dilawan? Kesewenang-wenangan? Ketidakadilan? Hal-hal yang sejak dulu ingin sekali saya lawan. Tapi, tampaknya menemukan cara melawan yang sejati yang ideal belum saya temukan. Mau berkoar-koar sampai depan kamar presiden di istana negara saya tidak melihat kemungkinan teriakan saya akan merubah penyakit Indonesia yang terlalu kronis ini.

Cara itu, untuk diri saya tidak cocok, sudah lapuk, itu cocok tahun 1960'an. Tahun 1998 dulu aksi-aksi itu berhasil. Entah apa sebabnya tapi memang kondisi saat itu membutuhkan aksi besar seperti tahun-tahun itu. Aktivis pada masa tu berhasil dengan perjuangan dengan cara yang masih di adaptasi hari ini.

Seiring bertambahnya usia saya berharap semakin dewasa, dan nafsu melawan saya yang bukan main membludaknya dulu rupanya bisa saya atasi sedikit-sedikit. Saya mulai menemukan perlawanan yang cocok bagi diri saya yang saya rasa cocok dengan kondisi saat ini.

Kondisi dengan banyak masalah saat ini, akan semakin bermasalah ketika perlawanan yang kita lakukan tidak tepat. Perlawanan dengan cara aksi turun ke jalan bukan berarti buruk. Tapi, menurut saya aksi itu banyak mudharatnya, menganggu orang di sekitar, sedikit banyak mengganggu ketertiban, mengganggu keamanan, banyak mengganggunya di banding dicapainya cita-cita yang ada. Kadang resolusi ditawarkan dalam aksi turun kejalan, namun ya aksi tadi tetap banyak mudharatnya dan belum tentu resolusi ini diterima sasaran aksi. Aksi yang membakar semangat tadi juga kadang ada orang yang ikut terbakar emosinya hingga bakar-bakar ban dan parahnya kalau sudah bakar fasilitas umum. Banyak mudharatnya.

Melawan menurut saya? Seperti tujuan yang pernah saya dengar dari kegiatan perkumpulan mahasiswa muslim di kampus saya, menebarkan oase-oase kebaikan di tengah gersangnya kampus kami. Kurang lebih seperti itu. Ya menurut saya itu, perlawanan jangka panjang untuk perbaikan negeri ini apalagi kalau bukan menjadikan diri kita lebih baik untuk memperbaiki negeri ini. Perbaikan untuk penyakit disekitar kita apalagi kalau bukan turun langsung dengan tangan kita mengobati penyakit di sekitar kita dengan kegiatan sosial. Banyak sekarang gerakan yang memfasilitasi gagasan-gagasan kreatif untuk menggelar kegiatan sosial. Baik pendidikan, kesehatan, atau bantuan kehidupan sehari-hari orang yang membutuhkan. Perlawanan macam inilah perlawanan yang sekali lagi, menurut pandangan saya paling kompatibel dengan kondisi negara kita saat ini. Bukan lagi aksi protes turun ke jalan.

0 komentar:

Posting Komentar