About my Blog

But I must explain to you how all this mistaken idea of denouncing pleasure and praising pain was born and I will give you a complete account of the system, and expound the actual teachings of the great explorer of the truth, the master-builder of human happiness. No one rejects, dislikes, or avoids pleasure itself, because it is pleasure, but because those who do not know how to pursue pleasure rationally encounter consequences that are extremely painful. Nor again is there anyone who loves or pursues or desires to obtain pain

Selasa, 22 Juli 2014

Meragukan Suara Rakyat

Tulisan ini bukanlah sebuah tulisan keilmuan yang dirangkai dengan data dan analisa dalam menemukan sebuah konklusi. Tulisan ini lebih merupakan rangkaian pertanyaan dengan kegelisahan di dalamnya yang belum saya temukan jawabannya.

Belum lama saya membaca sebuah petisi yang menuntut di revisinya UUMD3. Saya belum membacanya lebih dalam, UUMD3 itu sendiri serta poin apa saja yang sebenarnya hendak di revisi dalam UU tersebut. UU MD3 sendiri sebatas pengetahuan saya adalah Undang-undang yang mengatur mengenai MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Saya disini bukan mau menguji serta mengkaji ada apa di dalam undang-undang tersebut. Ada poin penting apa di dalamnya. Saya mencoba mengkaji kegelisahan lain yang terkandung dari tuntutan merevisi Undang-undang tersebut.

Saya adalah mahasiswa Tahun pertama yang sedang menunggu masuknya tahun kedua kuliah saya di Fakultas Hukum. Bersinggungan dengan hal-hal yang saya sedikit paparkan di atas merupakan hal yang biasa bagi saya. Namun, saya kurang memiliki minat dalam mengkaji hal-hal seperti yang telah dipaparkan diatas. Saya ingin mempertanyakan dari kacamata kehidupan sosial masyarakat Indonesia.

UUMD3, serta UU-UU lain di Indonesia dibuat oleh Legislatif bersama dengan Presiden. Mencoba menelaah hakikatnya secara otodidak, cara perumusan undang-undang macam itu merupakan langkah yang saya rasa matang. Pada dasarnya, dalam merangkai atau membentuk Undang-undang tersebut Legislatif yang punya makna pembuat aturan tidak membuatnya dari satu sisi saja tapi mendiskusikannya pula dengan presiden sebagai pemilik kekuasaan eksekutif atau pelaksana dari aturan yang telah dibuat di Indonesia. Secara hakiki pembentukan undang-undang ini menurut saya menjalankan proses check and balances yang tepat dimana lembaga kekuasaan masing-masing memiliki andil untuk menghasilkan hingga pelaksanaannya yang berarti termasuk pada pengawasannya. Ya, artinya undang-undang ini memang merupakan aturan yang telah ditimbang-timbang kehadirannya secara matang dari ratusan kacamata orang yang berkecimpung di dalamnya untuk menyusun, menjalankan hingga menegakkannya.

Sebagai mahasiswa Fakultas Hukum, Undang-undang sudah menjadi semacam kitab acuan kedua setelah Al-Qur'an. Sehari-hari dalam mata kuliah yang telah saya ambil pada dasarnya menerangkan aturan-aturan yang ada dalam bagian hukum tersebut. Misalnya Hukum Pidana, kitabnya Kitab Undang-undang Hukum Pidana; Hukum Perdata, Kitab Undang-undang Hukum Perdata; Hukum Tata Negara, UUDNRI tahun 1945, dan mata kuliah lain dengan pola yang sama. Semua yang kami pelajari bersumber dari rangkain aturan yang kami tekuni betul makna di dalamnya. 

Semakin hari saya mempelajari Ilmu Hukum saya mulai membuka lembaran-lebaran peraturan perundang-undangan yang di gunakan di Indonesia. Dan selama saya mencoba menelaah aturan-aturan tersebut yang kami jadikan betul acuan kami temukan pula kekurangan-kekurangan dalam aturan tersebut yang menyebabkannya menjadi mengambang untuk suatu hal dalam aturan tersebut, dan saya sebagai mahasiswa yang masih tergolong baru mempelajari Ilmu Hukum pun bertanya-tanya, bagaimana pelaksanaan akan suatu hal yang dituntun dalam suatu aturan tertentu namun ada hal yang tidak diatur di dalamnya? Bagaimana kelanjutannya?

Sebagai contoh, belum lama ini saya mempelajar Undang-undang Republik Indonesia Nomor 21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Karena saya mencoba mengkaji apa yang ada di dalamnya saya mencari pula permasalahan yang dihadapi para pelaksana atau para pelaku kegiatan yang berkaitan dengan yang diatur dalam UU OJK ini. Dalam salah satu permasalahan yang dihadapi dengan hadirnya OJK dalam kegiatan perekonomian di Indonesia, terdapat masalah yang disebabkan tak diaturnya suatu hal dalam UU OJK ini. Yaitu, ketiadaan aturan atau cetak biru arah perkembangan perbankan syariah di dalamnya. Yang artinya pelaksanaan kewenangan OJK mengenai arah pengembangan Bank Syariah ini tidak rinci dijelaskan. Padahal, Bank Syariah termasuk dalam penjelasan apa itu perbankan yang diatur dalam Undang-undang tersebut yang artinya Bank Syariah pengawasannya menjadi kompetensi dari OJK sendiri. Pertanyaan tentang hal itu, lalu bagaimana OJK sebagai pemegan kompetensi pengawasan Bank Syariah mengambil kebijakannya untuk melaksanakan kompetensinya tersebut? Tidakkah kekosongan ini membuat OJK jadi tidak ada tuntunan, seperti misal, kita diperintahkan berpuasa tapi tidak dijelaskan mulai dan sampai kapannya?

Ya terlepas dari itu semua, memang dalam Ilmu Hukum dikenal penafsiran hukum yang setahu saya memang berguna untuk mengantisipasi kekosongan-kekosongan macam tadi. Ada pula mekanisme untuk menguji materil suati perundang-undangan. Namun, yang membuat saya bertanya-tanya ialah, wajarkah tuntunan bagi pelaksanaan suatu hal memiliki kekosongan didalamnya? Apakah memang kekosongan itu merupakan suatu hal yang lazim ada dan akan ada dalam suatu aturan?

Sebagai orang awam hukum yang tiba-tiba kuliah di Fakultas Hukum, saya tiba-tiba pula menyadari bahwa Undang-undang dan peraturan lain dalam hierarkinya merupakan rujukan segala pertanyaan, acuan dari segala keraguan dalam setiap pelaksanaan. Boleh jadi saya sedikit mengagungkan kehadiran suatu peraturan sebagai tuntunan. Namun, menyadari ketika aturan ini ternyata ada "lubangnya"ada "cacatnya" ada kekecewaan yang terbersit dalam diri saya. Bagaimana mungkin tuntunan, aturan tapi berlubang-lubang? Tidakkah ini seperti perintah Sholat tapi tidak diberitahu bagaimana bacaan sholat, bagaimana sujud itu?

Kalau kita sedikit-sedikit mengurai pertanyaan saya tadi, Undang-undang dibuat oleh pemegang kekuasaan legislatif bersama-sama dengan presiden, pemegang kekuasaan eksekutif. Legislatif, pembuat hukum, atau pembuat peraturan begitu ideal, ketika didalamnya merupakan perwakilan rakyat. Seolah-olah rakyat memang punya andil dalam menyusun suatu aturan untuk dipatuhi. Ideal sekali. Senafaslah hal ini dengan sistem pemerintahan demokrasi menurut Abraham Lincoln, Dari Rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Namun, masihkah itu ideal ketika aturan tersebut mengandung lubang-lubang didalamnya? Apakah rakyat di Indonesia saja yang belum siap dengan konsepsi agung tersebut? Atau pemegang suara rakyat di Indonesialah yang tidak sanggup dan belum pantas menggelar kehidupan yang indah dengan sendi demokrasi?




0 komentar:

Posting Komentar