Istilah pelacuran intelektual pertama kali saya baca dalam buku Soe Hok
Gie karya Rudi Badil dan kawan-kawan yang diterbitkan beberapa tahun silam. Salah
satu bagian dari buku tersebut melukiskan kegeraman Gie pada rekan-rekannya,
yang sebelumnya berjuang bersamanya menggulingkan pemerintahan Soekarno yang mereka
nilai sudah tidak lagi 'klop' dengan bangsa Indonesia hari itu. Ketika kemudian
Soeharto menjadi suksesornya, rekan-rekan Gie sesama aktivis lalu berduyun-duyun
masuk ke jajaran parlemen, bahkan dengan semangat untuk mendapatkan kredit
mobil merek Holden yang terbilang mewah kala itu.
Istilah pelacur intelektual pernah pula saya baca pada sebuah artikel di
situs romelteamedia.com mengenai netralitas lembaga survei di masa kini.
Pelacur intelektual ini ditujukan kepada para peneliti di bidang survei yang “melacurkan”
keilmuannya untuk menghasilkan hasil survei yang sudah dirancang sedemikian
rupa memihak.
Hari ini, di tengah gonjang-ganjing tentang Pemilu Presiden (pilpres)
yang demikian ramai, kita disuguhi pertarungan seru dari dua kubu. Pertarungan
ini rasanya membuat kita selalu ingin menjadi penonton di bangku terdepan dalam
arena adu hebat dari dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden. Namun, mari
kita lihat perilaku media. Media pada hakikatnya merupakan corong informasi
yang diharapkan memberikan informasi yang selurus-lurusnya, tetapi dalam
situasi panas jelang pilpres sekarang, "kelurusannya" itu patut
dipertanyakan!
Wajar bila konsumen media saat ini beranggapan bahwa informasi dari
beberapa media sudah tidak “lurus” lagi, mengacu pada keberpihakan pemilik
beberapa media pada salah satu kutub dari dua petarung pilpres tahun ini.
Masyarakat “melek politik” hari ini juga pasti menyadari keberpihakan pemilik beberapa
media pada kubu-kubu yang bertarung dalam laga pilpres hari ini sedikit banyak
berimbas pada kualitas informasi yang disampaikan melalui medianya.
“Ketidaklurusan” corong-corong informasi saat ini tentu membuat saya geram. Media-media
tertentu mengundang buruk sangka saya tentang ketidakeleganan mereka dengan
berpihaknya sang pemilik pada kubu tertentu. Sebagai contoh, sang pemilik bergabung
dalam kubu capres-cawapres A, maka nampak sekali porsi informasi mengenai
gerak-gerik capres-cawapres A lebih banyak disampaikan dibanding
capres-cawapres dari kubu lain. Kadang bisa kita saksikan pula media macam ini
menginformasikan berita tentang capres-cawapres dari kubu lawannya, namun yang
disampaikan adalah informasi yang tampaknya menyingkap "hal-hal
kelam" dari petarung kubu lawan.
Hal mengenai kenetralan media pers khusunya, tidak diatur dalam
Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Di dalamnya tidak disebutkan
perihal keharusan pers dalam menyampaikan informasi haruslah berimbang, tidak
berat sebelah atau larangan tertentu keberpihakan suatu media pers atau
pemiliknya pada suatu kekuatan atau kubu peserta politik tertentu. Namun, dalam
Pasal 7 Undang-undang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers ini disebutkan bahwa,
wartawan memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik.
Membaca Kode Etik Jurnalistik ini kita akan menemukan poin menarik pada
Pasal 1, dimana disebutkan bahwa Wartawan Indonesia bersikap Independen,
menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk. Memperhatikan
pula penafisran pada pasal ini, dimana yang dimaksud dengan independen adalah
memberitakan peristiwa sesuai fakta dengan suara hati nurani dan tanpa campur
tangan, paksaan dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan
pers.
Memperhatikan apa yang dewasa ini terjadi apalagi menjelang pilpres
dengan kondisi yang telah saya sebutkan diatas, independensi dari media pers
sekali lagi patut dipertanyakan. Karena, pada hakikatnya, media sudah seharusnya
memberikan informasi yang lurus dan tidak tendensius. Namun, seperti peneliti
pada lembaga survei, yang dijuluki pelacur intelektual seperti yang disebutkan
diatas, media sayangnya menyampaikan informasi yang tidak seimbang, sehingga dapat
mempengaruhi masyarakat dalam menentukan pilihannya kelak. Hal inilah yang
menimbulkan kegeraman dari berbagai sisi karena media seolah mempermainkan
hakikatnya dan sudah barang tentu mempermainkan pula konsumennya dengan
informasi yang tidak berimbang. Padahal, media-media pelacur intelektual ini adalah
media besar yang di dalamnya bergabung jurnalis-jurnalis hebat dengan daya
analisis tinggi dan penuh kompetensi; dedengkot-dedengkot
dalam bidangnya yang boleh dibilang punya "otak encer".
Sayangnya, entah mereka "terlacurkan kemampuannya" karena manuver
politik sang pemilik ataukah memang mereka yang tak punya idealisme yang kokoh
sehingga bergabung dalam "pelacuran intelektual masa kini".
Meskipun mereka dapat membela diri secara hukum, namun kenyataan bahwa
mereka tak berpijak di tengah kedua kubu dan entah dimanfaatkan atau justru
memanfaatkan hakikat mereka sebagai wahana komunikasi massa yang menyampaikan
informasi yang mereka perolah dengan kewenangannya demi kepentingan tertentu,
tentunya telah mengecewakan banyak pihak. Meskipun desing-desing berita yang mereka
sampaikan belum tentum memberikan pengaruh pada konstituen di Indonesia untuk
menjatuhkan pilihan, namun kenyataan yang telah saya sebutkan diatas telah
mencederai kepercayaan masyarakat pada lembaga pers tertentu, dan bisa jadi
lembaga pers pada umumnya apabila hal demikian (pers yang berpihak) sudah
menjadi lazim.
Dimuat pula di : http://mahkamahnews.org/?p=1327
0 komentar:
Posting Komentar